Suatu
hari, saat sedang di mobil dalam perjalanan menuju sebuah tempat perbelanjaan,
Idham dan Nadia—teman dan rekan kerja gue—, serta gue terlibat sebuah pembicaraan
yang serius. Sambil menyetir Idham bertanya ke gue dan Nadia “Gue dapet tawaran kerja nih, menurut lu pada
gimana?” mendengar pertanyaan Idham reaksi gue cuma diam. Namun Nadia langsung
mencecar soal gaji.
“Gue
ditawarin gaji lebih gede. Kalau dibanding sekarang, naik sekitar 30 persen
lebih lah.” Jawab Idham dengan yakin. Setelah mendengar jawaban tersebut Nadia
memberi saran untuk ambil peluang tersebut. Sementara gue masih terdiam, gue
gak terlalu yakin apa yang akan gue jawab.
“Menurut
lu gimana ki? Gue ambil aja apa gimana?” Tanya Idham ke gue. Idham yang
sebelumnya gak pernah berbincang serius, terus terang bikin gue bingung. Setelah
berpikir agak lama gue lalu menjawab dengan pernyataan yang umum untuk orang yang
bingung, “cari yang menurut lu baik aja dham, kalau gue..” tapi sebelum jawaban
gue mencapai kesimpulannya, ternyata kita sudah sampai di tujuan. Pembahasan
soal resign dan gaji pun berhenti seiring dengan laju mobil yang berhenti.
Saat
pembicaraan ini terjadi, udah sekitar 10 bulan gue bekerja di Berca Niaga
Medika (BNM)—perusahaan distributor alat kesehatan ber-merk PHILIPS—. Dalam
periode 10 bulan ini pula, seenggaknya gue telah melihat secara langsung 3
orang rekan kerja gue resign. Dan sebaliknya,
ketika banyak yang keluar, banyak juga yang melamar masuk. Dinamis,
pergerakannya begitu cepat. Pernah dalam hati gue mempertanyakan kenapa sih
mereka resign? apa yang menguatkan
mereka untuk resign dan hijrah ke
tempat lain. Gue melihat kalau mereka setidaknya mencari satu diantara dua
alasan, yaitu uang lebih (baca: gaji gede), atau sebuah kepastian jangka
panjang.
ER,
salah satu rekan gue saat di BNM resign
karena menjadi PNS, walau diakuinya berat melakukan langkah tersebut, karena
gaji yang diperoleh jauh lebih kecil dari gajinya saat bekerja di BNM, namun
dia tetap mengambil pilihan untuk menjadi PNS. Lebih jelas, alsannya bukan soal
uang, tapi soal kepastian jangka panjang yang dia peroleh ketika ‘bekerja pada
negara’ dibanding bekerja di sektor swasta yang suatu saat bisa kolaps. Ya,
manusia memang membutuhkan kepastian, jangankan bekerja, pasangan pun selalu
minta kepastian. *eaaa
Lain
ER, lain pula OFM—rekan kerja gue yang menggantikan ER—, dia berkisah bahwa di
tempat kerjanya dulu gajinya tiga kali lipat dari sekarang, tapi ketika gue
tanya kenapa dia pindah. Alasannya sederhana, di perusahaannya yang dulu kerjanya
gak jelas, semua dikerjain, dari yang kecil seperti pasang lampu, sampai yang
berat – berat. Lihat kan, ternyata alasan resign
gak selalu soal uang, tapi tentang kenyamanan bekerja.
Satu –
satunya hal yang diinginkan manusia adalah sebuah kepastian. Padahal,
ketidakpastian itu sudah pasti.
Hal yang buruk sudah pasti berbekas. Tapi
tidak dengan yang baik, kadang terlupa (baca: dilupakan)
Gue teringat
cerita sepupu gue di Sukabumi yang menceritakan tentang seorang saudara jauh
kita. Katanya saudara jauh kita itu, sebut saja AA bisa mendapat gaji 8 juta sebulan,
tapi dengan konsekuensi hanya tidur 2 - 3 jam sehari. Gaji 8 juta yang di dapat
AA berasal dari seringnya dia kerja lembur. “Buat apa kaya gitu, padahal mah masih muda. Siga kejar setoran wae, da
eweuh tanggungan—Kayak kejar setoran aja, padahal gak ada tanggungan.” Terang
Sepupu gue sambil menceritakan AA.
Saat mendengar
cerita sepupu gue, Jujur gue salut sekaligus kasihan dengan AA. Salut karena
dia seorang pekerja keras (dalam artian negatif), kasian karena dari penuturan
sepupu gue, AA sering sakit – sakitan akibat sering bekerja lembur. “Lihat aja
nanti sok, kalau begitu terus mah uang yang dikumpulin gak akan guna,
malah badan ancur.” Sepupu gue lalu menutup pembahasan tentang AA.
“Ya,
yang ada uang yang dikumpulkan cuma buat biaya pengobatan ketika sakit.” Kata
gue.
Gue jadi teringat sebuah
cerita.
Alkisah ada seorang pendaki gunung pemula berjalan dengan cepat dengan
alasan ingin mencapai puncak lebih cepat, lalu dia seorang pendaki gunung yang lebih tua, ketika
berpapasan pendaki tua tersebut bertanya
pada pendaki pemula, “kenapa jalan begitu cepat?” katanya.
“Agar bisa lebih cepat menuju
puncak.” Jawab pendaki pemula.
Pendaki
tua itu lalu tersenyum dan menjawab. “Berhentilah sejenak, berjalanlah dengan
pelan lalu lihat sekelilingmu. Ketika terus fokus memikirkan menikmati berada
puncak, kamu telah kehilangan momen untuk menikmati pemandangan sekitar
pegunungan yang indah.”
Enjoy
today while preparing tomorrow. Dulu, gue berorientasi dengan pertanyaan,
bagaimana sih caranya mapan di usia muda—katakanlah di bawah 25 tahun—mencoba
mengejar semuanya dengan lebih cepat. Dan jawaban gue paling simpel adalah cari
perusahaan yang mau membayar gue lebih, lau resign
dari perusahaan sekarang. Dan, mungkin itulah yang melatarbelakangi mereka yang
sering berpindah – pindah tempat kerja. Seperti teman gue, Deri. Deri memutuskan
melakukan tindakan yang radikal, dia pindah dari tempat kerja sebelumnya
sebelum genap bekerja 10 bulan. Dengan alasan, di tempat yang baru dia mendapat
gaji yang lebih besar. Gak ada yang
salah sih, gue juga pasti akan melakukan hal yang sama. tapi, segitu buru –
burunya?
Dan beberapa
Teman – teman gue saat kuliah pun sama, mereka melakukan langkah yang radikal,
banyak yang memutuskan resign untuk
bekerja pada satu Rumah Sakit yang sedang melakukan perekrutan masal awal tahun
ini. Alasan mereka simpel, rumah sakit itu dulu merupakan tempat kita semua
kuliah—menjadikan RS tersebut bagai rumah kedua—, dan Rumah Sakit tersebut
merupakan rumah sakit ternama di Indonesia. Kalau boleh disebut, Rumah Sakit
tersebut adalah RSJPD Harapan Kita. Tapi ternyata, pilihan mereka berbuah
konsekuensi lain, kabar terakhir dari teman gue yang kerja di Harkit, beberapa
dari mereka ada yang mengeluh kecapekan dan kewalahan bekerja disana, karena
frekuensi pasien disana tinggi. Ya, gak ada hal yang terus – terusan baik kan?
Jujur
disaat – saat tertentu gue juga selalu memiliki keinginan untuk pindah ke
tempat lain. Alasannya banyak, mulai dari gaji yang gue ‘rasa’ gak terlalu
besar—padahal gaji gue udah terbilang besar untuk fresh graduate—. Sampai keinginan
gue unutuk bekerja di tempat yang fokus pada keilmuan yang gue pelajari di
bangku kuliah. Dan dari semua alasan, rasa ingin pindah akan lebih kuat ketika gue
mendapatkan tugas yang sulit atau keluar dari job desc gue.’ Dan itulah manusia, kalau mau dicari – cari pasti akan selalu ada
alasan untuk resign, sekali lagi ‘kalau
mau dicari – cari.’
Every
time i got difficult task from my boss, honestly, it was painful. But, why not,
it was my job anyway.
Gue
sendiri sempat melamar di RSJPD Harkit saat bekerja di BNM, tapi kemudian gue
mundur. Kenapa gue mundur? Simpel. Sekarang kalau cuma soal dapat sebuah
pekerjaan, gue udah punya, yang gue belum punya mungkin kehidupan. Kalau gue hanya pindah karena soal
perkara angka atau nama institusi, kayaknya gak akan ada bedanya dengan
sekarang. Because, get a better job not
mean you get a life. Even worst, it’s can ruin your life.
Saat
kita menjalani hidup dan pekerjaan sebatas untuk memenuhi tuntutan dan keinginan
hidup, pasti akan sangat melelahkan.
Apa sih
yang gue mau dari resign? Uang? Iya,
semua orang butuh uang, kalau gue bilang uang gak penting, gue munafik. Tapi,
ada yang lebih dari itu gak, selain uang? Mungkin, bahagia. Bahagia ketika kita
enjoy apa yang kita kerjakan. Jadi, apakah hidup tentang bagaimana mendapatkan
pengakuan? Mencapai puncak lebih cepat? Kayaknya enggak. Hidup mungkin adalah bagaimana
kita bisa bahagia dan berkontribusi dalam melakukan pekerjaan. Love what you do. Do what you Love. Enjoy
today, while preparing tomorrow.
Soal
gaji, yakin deh kalau gaji akan mengikuti performance, bukan sebaliknya. Ketika
kita bekerja semaksimal mungkin, dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan
perusahaan, maka atasan pasti akan mengapresiasi dan punya alasan untuk
menaikan gaji kita. Sementara Ketika kita berpikir untuk bekerja seadanya atau
malah bekerja malas – malasan karena gaji atau tunjangan kita kecil, justru
kita akan tetap terjebak dalam zona dengan gaji kecil.
Di
dunia ini gak ada orang dengan gaji besar tapi kerjaannya cuma ongkang -
ongkang kaki, kecuali penjilat.
Tapi jika saat kita bekerja maksimal dan gak
ada apresiasi dari perusahaan?
Ya kalau
begitu, ada baiknya untuk mencari perusahaan yang akan mengapresiasi pekerjaan
kita.
Karena memiliki keluarga bukan sebatas
hanya memiliki hubungan darah.
Tempat
kerja gue dalah tempat yang seru, hampir 8 jam sehari gue bertemu dan
berinteraksi dengan rekan kerja gue—kecuali akhir pekan—. Ruangan kerja gue dan
teman – teman yang lain hanya sebuah ruangan dengan rak yang menempel di
dinding dan sebuah meja panjang tanpa sekat, di tempat kerja gue setiap staff
(kecuali manajer) gak punya meja sendiri, semuanya harus berbagi, baik meja,
komputer ataupun kursi. Itu dikarenakan kita semua adalah pekerja lapangan yang
selalu berpergian, singkat kata, kerja kita diluar, kadang harus pergi ke
tempat baru dan bertemu orang – orang baru (baca:customer baru). Ketika ada
kesempatan berkumpul selalu aja ada cerita baru dari masing - masing orang, dan
yang paling seru, cerita – cerita baru itu selalu ada setiap hari! Ya, setiap
hari. Entah itu adalah cerita konyol yang mengundang gelak tawa, atau cerita
aneh yang mengundang cemoohan. Setiap orang selalu punya pengalaman dan cerita
untuk dibagikan. Kombinasi orang – orang yang unik dan tempat yang dibuat tanpa
sekat membuat tempat gue selalu riuh, lebih mirip tempat nongkrong daripada
tempat kerja. Bahkan, Mbak Dini—mantan rekan kerja yang udah resign dan sekarang
kerja si tempat lain—saat berkesempatan chat di BBM pernah berujar kalau dia
sangat merindukan suasana keriuhan diivisi kita. “Kangeeeeeen.” Ketiknya di
BBM.
Mungkin,
ini yang menguatkan gue untuk menjadikan mereka sebagai keluarga, keluarga yang
gue pilih. Ya, ketika semua orang melihat rekan kerja hanya sebatas hubungan
kerja, gue memilih untuk menjadikan hubungan ini lebih dari rekan kerja, sebuah
hubungan keluarga. Kenapa harus menjadikan mereka keluarga? Seenggaknya gue
akan punya alasan untuk lebih nyaman saat bekerja. Mana yang lebih nyaman,
bekerja dengan keluarga atau dengan orang lain? Mana yang lebih cepat baikan
saat berkelahi, dengan keluarga atau orang lain? Mana yang lebih enak kita
repotin, keluarga atau orang lain? (untuk yang terakhir jangan diterapkan,
haha)
Kita
mungkin gak akan pernah sadar kalau ini yang unik dari kita sampai kita
meninggalkan tempat ini, dan merasa kehilangan.
Kesimpulan: Resign?
Pertimbangkan. Bekerja gak melulu soal uang, lagi pula uang juga gak menjamin
kebahagiaan. Enjoy today while preparing tomorrow.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar