Senin, 26 September 2016

Mendaki gunung Merbabu

Disclaimer: Semua foto bukan milik saya, tapi milik Mas Oktofandy Faisal. Cek IG: @oktofandy

Sudah pernah ke Merbabu? Kalau belum, gue gak menyarankan kalian untuk kesana, tapi gue MAKSA kalian kesana.


Mempunyai ketinggian 3142 mdpl dengan sabana yang luas membentang, merbabu bisa dibilang indah, kaya kamu. Keindahan Gn. Merbabu yang enggak toleransi bisa dibilang membuat gue lebih susah move on dari gunung ini daripada sama kamu. Apa sih. Dan beruntung sekali pada bulan bulan agustus tahun 2015 gue berhasil mempunyai kesempatan pergi ke gunung ini melalui jalur Suwanting.

Jalur Suwanting adalah jalur yang baru saja dibuka setelah sebelumnya di tutup pada tahun 1998. Dan berada di dusun Suwanting desa Banyuroto, Kecamatan sawang, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Wuih Lengkap

Iyalah, Terima kasih Google.

Oke, jadi para pembaca yang baik dan jahat. Gue dan Mas Okto memilih jalur Suwanting karena jalur Suwantig baru dan belum ramai. Oh iya, Mas Okto ini adalah teman selama pendakian gue, dan beliau ini adalah pendaki veteran yang diberkahi kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, kalau diibaratkan, Mas Okto ini ibarat Samson. Lebih tepatnya Samson dari Ciledug. Beliau ini, mampu membawa carrier paling gede dan berat sekalipun. Dulu, pernah Gue dan Mas Okto mendaki bareng, dia bawa carrier yang saking gedenya gue curiga itu bukan carrier tapi kulkas dua pintu. Gede banget.

Menuju Suwanting, dari Jakarta kita bisa naik kereta via Stasiun Pasar Senen dan turun di St. Semarang Tawang, sebenarnya bisa aja sih ke Jogjakarta.Tapi kita berencana untuk ke merbabu via ke Semarang Tawang dan pulang baru via St. Lempuyangan Jogjakarta, karena rasanya akan lebih menyenangkan saat pulang mendaki, kita istirahat dan menikmati malam di Malioboro. Total waktu yang ditempuh dari Jakarta ke Semarang tawang; 10 Jam.

Jam 3 Pagi, tiba di stasiun Semarang Tawang. Di dekat stasiun ini ada sebuah masjid yang bisa jadi persingganggan sementara untuk mandi dan sholat subuh. Setelah itu baru naik angkot ke terminal terboyo. Oh iya walaupun ada masjid yang gede, di sekitar St. Semarang tawang kalau jam 3 sampai 4 pagi jangan kaget kalau kalian masih bisa ketemu kupu kupu malam yang suka ngajak - ngajak gak bener.

“Mas, ayok mas,” rayu Mbak - mbak di atas becak. Ya, mereka memang mangkal sambil setengah tiduran di tempat duduk penumpang sebuah becak. Agak unik.

Mendengar rayuan maut ala Mbak ini Gue dan Mas Okto saling berpandangan dan nyengir, bingung mau bereaksi apa.

Setelah shalat subuh kita naik angkot ke arah teminal terboyo, sambil nyeret carrier di dalam angkot gue meminta maaf dengan sopan terhadap penumpang lain. Karena khawatir carrier yang gue bawa mengganggu, tapi gue rasa kekhawatiran gue percuma, karena pagi itu di angkot banyak ibu – ibu yang bawaannya lebih banyak. Ada yang bawa barang dagangan yang cukup buat buka warung, jerigen, kayu panggul, dan barang bawaan lain. Jadi, barang bawaan yang banyak pun semuanya jadi bisa dimaklumi. Akhirnya gue menyadari bahwa setiap manusia yang berada di angkot ini memang membawa barang bawaan dan ceritanya masing masing jadi saling menghormati, gak ada alasan untuk kita masang muka mesem atau berkomentar karena kesempitan. Satu satunya yang berkomentar hanya supir angkot “ayo, geser sedikit ya mas.” Himbaunya.

Dengan bersinggungan pundak, lutut, dan kaki, sambil menunduk gue memperhatikan pemandangan kota tua dari jendela angkot, Gue melihat beberapa bangunan bangunan tua dengan arsitektur kolonila belanda, semarang Tawang memang berada dalam kawasan kota tua.

Setelah keluar dari kawasan kota tua, angkot memasuki jalan lintas utara yang padat oleh truk - truk besar mirip optimus prime. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam sampai akirnya kita tiba di terminal Terboyo. Terminal terboyo nampak sibuk dengan lalu lalang penumpang, padahal masih jam 6 kurang saat itu.

Dari terboyo kita naik bus ke Salatiga, Kenapa Salatiga? Jadi pas kita tiduran di St. Semarang Tawang sekitar jam 3 pagi sebelum pergi ke masjid, kita bertemu dua orang Mas mas—umurnya sekitar 27 tahunan—bertanya“muncak mas?”

Mendengar suara itu, Gue dan Mas Okto—yang sedang setengah tertidur di bangku tunggu Semarang tawang, dengan carrier sebagai bantal—langsung mencari arah suara. Ternyata asal suara dari dua orang mas mas.

“Iya Mas.” Jawab Mas Okto singkat. Mas mas tersebut lalu menyodorkan tangan, mengajak salaman. Setelah bersalaman, seperti bertemu teman lama kita terlibat percapakan singkat tentang merbabu.

“Muncak ne nengdi?” Tanya mas nya dengan logat jawa.

“Hah?” Gue dan Mas Okto bingung.

Lalu teman Mas yang bertanya langsung menegur dengan bahasa jawa, yang gue artikan mungkin berkata “jangan ditanya bahasa jawa, kan belum tentu orang jawa.”

“Oh iya, muncak kemana mas?” Mas nya meralat.

“Merbabu mas,” jawab Mas Okto.

“Wah, dekat rumah saya itu.” Gue berpandangan sekilas dengan Mas Okto. Seteah itu Mas okto langsung bertanya rute palig baik dan efektif  menuju suwanting. Info ini emmang yang belum kita ketahui dari jakarta secara detail. Walau sebelumnya sudah mengumpulkan data dengan modal browsing di internet.

“Ke salatiga dulu mas,” saran Mas nya dengan logat jawa yang medok,  lalu  dia menjelaskan kalau ke suwanting, lebih baik naik bus dari terboyo dan turun di Salatiga, lalu dari Salatiga naik lagi mobil ke Pasar Kaponan, dan dari pasar kaponan, lalu ke Suwanting.

Lumayan lama berbincang, terdengar sebuah pemberitahuan kereta ke Surabaya. Lalu dengan terburu - buru dua Mas – mas ini berpamitan dan melangkah menjauh dari kita, keduanya harus pergi ke Surabaya dan kereta yang menuju Surabaya sudah mau berangkat. “Ke salatiga mas, terus ke pasar Kaponan,” teriak Mas nya sambil lari lari kecil mengejar kereta. “Ayok mas, duluan” mereka lalu melambai sambil masih berlari kecil, lalu kemudian menghilang dibalik pintu. “Iya Mas, Makasih. Hati – hati,” Jawab kita. Gue tersentuh, mungkin inilah ajaibnya carrier, buat mereka yang pernah menggendong carrier, bertemu dengan orang lain yang membawa carrier mungkin akan sedikit mengusik rasa penasaran dan akhirnya bertanya, “mau muncak kemana mas?” Luar biasa, sebuah pertemanan bisa dijalin dengan membawa carrier.



Setelah dua kali naik bus, gue dan Mas okto tiba di Pasar Kaponan. Di sini gue sarapan dan belanja logistik, mempersiapkna bekal makan siang dan bahan mentah seperti tempe, kol, wortel, jagung dll. Suhu yang sejuk dan bahan makanan yang murah membuat gue betah disini, rasanya menyenangkan.

Dari Pasar Kaponan ini udah gak ada angkot lagi menuju Suwanting, jadi alternatif yang paling baik adalah, “naik truk aja dek, itu biasa lewat sini,” jawab Ibu penjual Baju Army setelah gue dan Mas Okto bertanya arah ke Suwanting.

Ibu Penjual Baju Army lalu melanjutkan. “Tuh, truk nya,” sambil menunjuk sebuah truk besar.

Pandangan gue langsung menuju truk tersebut, lalu gue memandang Mas Okto yang sedang bengong,  gak salah nih ibu? yakin harus naik truk? Lalu setelah bingung karena tidak menemukan transportasi murah cocok dan terbentur jadwal yang padat. Cielilah. Akhirnya kita putuskan naik ojek. Tarif ojek ke Suwanting Rp. 20.000.



Dengan carrier di punggung, dan rambut abang ojeknya yang agak menggimbal, entah karena kurang shampo atau emang mau gimbal tapi gagal, Gue dan mas okto menuju basecamp Suwnating di Dusun Suwanting.



Di basecamp kita disambut oleh pemandangan gunung merbabu yang hijau dan suasana pedesaan yang dan sederhana. It was really nice. Basecamp suwanting sederhana, hanya ada sebuah pos jaga untuk daftar para pendaki dan informasi rute Suwanting berupa spanduk. Juga ada nomor telepon yang bisa dihubungi kalau ada kendala atau keadaan tertentu. Yang menarik dari desa suwanting adalah jalannya yang terjal, berupa tanjakan tajam. Jadi jalan di dusun ini bisa lumayan membuat kita ngos ngosan.

Gue memulai mendaki jam 11.00 pagi. Saat itu Gue langsung disambut jalan semen terjal menanjak dengan sudut elevasi 45 derajat, jalan ini berhasil membuat nyali gue ciut. Gila, baru mulai udah dapat tanjakan terjal. Selepas jalan semen yang terjal, neraka gue pun dimulai memasuki areal perkebunan warga jalan makin terjal dan dengan tanah berbatu. Makin ke atas, setelah area perkebunan warga, gue memasuki jalan kecil dan masuklah ke kawasan hutan pinus.



Buat gue yang terlahir lemah, dan selalu engap kalau naik gunung, mendaki merbabu terasa sangat menguras tenaga, belum lagi jalur Suwanting itu lumayan terjal, saking terjalnya perlu mendongak untuk melihat jalan di depan(atas)nya. Namun, gue selalu punya rahasia untuk survive dalam setiap pendakian, yaitu sabar. Karena mendaki gak melulu soal fisik sempurna, tapi ini soal kesabaran maksimal dan semangat juang tak terbatas. Cieilah.

“Mas istirahat dulu mas,” gue bersusah payah minta time out ke Mas Okto. Gak kuat, gila. Mau mati rasanya.


Namun, yang paling sedih dalam mendaki gunung saat itu adalah, gue gak berhenti untuk makan siang. padahal makan siang itu penting. Saat itu yang bisa gue lakukan untuk menahan rasa lapar adalah duduk sambil mengemut coklat. Setelah agak mendingan gue jalan lagi.

“Ayok mas, duluan. Semangat,” sapa sesama pendaki.

“Iya mas.” Jawab gue tersengal.

Pelajaran penting. Jangan biarkan nasi bekal makan siang kamu di bawa oleh teman pendaki kamu yang gaya mendakinya kayak pelari Jamaika. Ya, alasan gue gak makan siang adalah karena bekal gue dibawa mas okto—yang udah jauh di depan—. Dan gue tertinggal dengan logistik mentah. Ya, gue salah strategi.


Jam 6 sore gue tiba di Dampo awang atau Pos 3, Dampo Awang adalah pos terakhir sebelum menuju puncak. Disini tersedia sumber mata air.

Malam pertama di Dampo Awang, dengan kondisi yang lelah, kita(gue) memutuskan untuk istirahat di malam pertama dan muncak keesokan malamnya. Jadi, malam pertama gue bisa menikmati malam cantik di merbabu, yang kebetulan sedang supermoon. Sekilas info, Supermoon adalah keadaan bulan berada pada titik paling dekat dengan bumi. Jadi, kelihatan lebih besar dan terang dari biasanya. Saking terangnya, pada sesaat sebelum gue mendaki memasuki sabana, awalnya gue kira ada sebuah lampu sorot, atau layar tancep. Terang banget. Ternyata hanya bulan yang menyinari gue malam itu, bukan kamu. 

Tapi pada akhirnya malam itu gue banyak habiskan dengan tiduran, gak menikmati pemandangan malam atau supermoon. Capek.

Malam di dampo awang saat itu tenang, yang terdengar hanya suara angin, wush wush, grebek gerebek. Goyang goyang deh flysheetnya, berisik.

“Ki, kayaknya kita musti pindah tenda.” Kata Mas okto sambil tiduran, khawatir dengan angin yang galak menggedor - gedor tenda.

“Iya mas, kayaknya iya deh, mau masak juga susah.”

“Ya udah, besok aja ya pindahnya.”

“Oke mas.” Gue kembali tidur.

Pelajaran penting. Saat mendirikan tenda, pastikan gak di tempat terbuka yang banyak angin.
....

Pagi tiba, keluar tenda gue langsung disambut semilir angin dingin menusuk yang membuat hidung gue meleleh, keluar ingus. Karena selalu pengalaman dengan ini, ge selalu mengelap ingus gue dengan kain di leher gue. Ini terasa praktis walaupun jorok. Ya, lebih baik aripada nyingsring sembarangan.

Dampo awang adalah tempat nongkrong yang asik, sabtu pagi, setelah masak, gue bekeliling dan menemukan diri dalam suasana titik diatas awan. Horizon awan mirip lautan menenggelamkan kaki gugung gunung sekitar yang dibarengi suasana sunyi serta suara angin berhasil membuat gue puas dengan perjuangan yang gue lakukan. Kalau sudah pada titik ini, rasanya gak mau pulang dan kerja di Jakarta lagi. Gue merasa seperti inilah kita harusnya menikmati hari, tenggelam dalam sunyi ketinggian sambil melihat sebagian muka sang bumi. Kalau udah begini gue hanya bisa berucap dalam hati, ‘here is the place where I belong,’ dalam Bahasa Inggris. Biar keren.


.......

Jawa tengah terkenal dengan gugsan gunung yang banyak dan indah, dan dari dampo awang kita juga bisa melihat kemegahan gunung – gunung lain dari kejauhan. Gunung andong, sindoro dan sumbing di samping kanan dan yang gak kalah kerennya, kita bisa melihat dengan jelas gunung Merapi berdiri megah persis di sebelah kiri. Jadi secara gak langsung, kita, para pendaki yang berada di Merbabu ini bertetangga orang yang mendaki merapi. Hai tetangga.


Itu bendera hasil minjem sama adek - adek ABG yang kita temui di Merbabu. Jangan cemas, tidak ada ABG yang dilukai saat meminjam dan berfoto dengan sang merah putih.

Hari sabtu Sore, Weekend tiba, pendaki yang datang ke dampo awang bertambah ramai, saking ramainya, lingkungan sekitar tenda gue yang tadinya kosong gak gue sadari udah menjadi lautan tenda, ga lautan juga sih, cuma agak padat aja. Bahkan saking padatnya gue sempat nyasar, lupa dengan tenda punya gue sendiri. Tapi, secara teknis tenda yang gue tempati memang bukan punya gue tapi punya Mas Okto, jadi gue sebenarnya gak akan menemukan tenda punya gue sendiri, ah lupakan.


........

“Ki, minum ener*en dulu, biar kuat.” Hari minggu jam 3 pagi, Mas Okto membangunkan gue dari luar tenda, gue melihat melihat Mas Okto memasak minuman makan bergizi, sebuah minuman nutrisi yang memiliki slogan ‘minum makanan bergizi.’ Oke, biar semangat dan bertenaga dengan sangat cepat gue mengambil cangkir dan menyeruput dengan, seketika lidah gue merasakan sensasi terbakar, langsung mati rasa, kepanasan. Baru diseduh banget ternyata.

Gue dan Mas Okto berjalan melalui sebuah jalur yang membelah sabana menuju puncak. Suasana saat itu sepi, dari kejauhan Gue dan Mas Okto mungkin hanya terlihat sebagai dua buah cahaya dari kejauhan, karena cuma ada kita berdua di radius 100 meter. Memang saat itu kita agak kepagian mendaki puncak. “Ayok ki,” mas okto berdiri di depan gue sambil memperhatikan gue yang terdiam memegang lutut, kepayahan. agak menunduk. Gue berusaha bernafas dengan teratur.

Gue menarik nafas, “oke mas. Ayok.” Sambil tersengal

Mencapai puncak memang bukan hal yang mudah, menuju ke tempat tinggi ya konsekuaensinya mendaki. Kalau sudah begini muncul lagi pikiran untuk menyerah.

Pulang aja lah. Gak usah ke puncak. Ngapain capek – capek?

Iya, ngapain capek capek. Gue terdiam sejenak, fase yang krusial dalam setiap pendakian telah tiba, yaitu fase refleksi diri. Saat itu gue kembali bertanya lagi tujuan dari pendakian ke diri sendiri. Bertanya, apakah  yang gue lakukan ini sebanding. Apa alasannya?

Lalu, muncul lagi alasannya, alasan yang selalu berhasil mebuat gue tetap maju menuju puncak, alasannya yaitu kamu. Halah.

Oke, serius. Jadi alasan dari setiap pendakian adalah karena saat berada di puncak kitaakan mendapatkann hal yang gak kita temui setiap hari dalam rutinitas gue. Hal itu adalah rasa puas bisa melihat pemandangan yang indah dari puncak—yang gak semua orang bisa melakukannya—, dan rasa lega menaklukan hambatan serta rasa ragu atas diri sendiri, ragu yang selalu bertanya “apakah kita mampu?” Dan setelah semuanya berakhir,  kita sadar ternyata kita bisa lebih dari mampu, kita juga menikmatinya.  

“Ayok mas,” gue mengangguk mengisyaratkan mampu. Kita pun kembali berjalan mendaki menuju puncak. Melangkah dengan pasti dan sedikit ngos ngosan.

Matahari belum terbit, sambil bejalan di atas sabana dari kejauhan gue melihat pemandangan barisan bukit dan untaian lampu dari jalanan dan rumah – rumah dibawah. Ini, jelas pemandangan yang  langka, gak akan gue temui selain dari jendela pesawat di malam hari.

Lalu suasana sunyi yang gue dapati saat menuju puncak semakin membuat gue yakin kalau suasana bising Jakarta adalah mimpi buruk umat manusia yang hidup di Jakarta. Dan disini berbeda, bukan mimpi buruk yang gue temukan, disini semuanya sunyi, yang bisa kita dengar hanya suara nafas, angin dan langkah kaki kita sendiri. Walau ada juga suara “ayok ki, semangat,” ya itu suara Mas Okto kalau gue udah ketinggalan.

Butuh waktu sekitar dua jam untuk akhirnya sampai di puncak triangulasi. Semakin ke puncak, antrian para pendaki  mulai rapat dan gue terkejut dengan banyaknya orang yang ada di puncak, lebih banyak dari dampo awang. Wajar, banyaknya jalur pendakian merbabu jelas membuat populasi pendaki di puncak lebih ramai daripada jumlah pendaki yang melalui jalur Suwanting.






Berpindah dari puncak Triangulasi gue ke puncak Kenteng Songo. Kenteng songo ini  menarik, karena di Kenteng Songo terdapat batu - batu dengan lubang ditengahnya mirip sebuah mangkok atau cangkir. Konon batu ada sembilan batu berbentuk seperti ini, itu juga yang menjadi alasan puncak ini dinamakan kenteng songo ( sembilan). Sayangnya karena kondisi yang rusak, gue sulit mngkonfirmasinya jumlahnya, beberapa batu memang masih dalam kondisi baik, namun beberapa lagi sudah tidak utuh dan hanya terlihat seperti batu biasa. Sayang banget. Tapi ada hal yang lebih memprihatinkan dari sekedar rusak karena waktu, yaitu adalah banyaknya corat – coret di bagian batu. Aduh, gue kasih tahu ya buat sejoli yang  pernah nulis nama kalian di batu di gunung, jangan pernah ulangi lagi, jangan pernah tulis nama kalian di batu ataupun pohon, karena kalau kalian putus repot hapusnya.



Turun dari puncak, ada hal menarik, beberapa kali gue menemui beberapa pendaki dengan umur yang lumayan—boleh ditebak mungkin sekitar umur lima puluh tahunan— memakai bawahan sarung dan baju lengan panjang, bebrapa memaka i blankon, beberapa memakai peci. Mereka biasanya mendaki dengan didampingi beberapa anak muda.

“Masih jauh mas?” tanya Bapak Yang berusia udah gak muda lagi.

“Lumayan pak, sekitar 45 menit ke atas,” jawab gue.

“Wah,” sang Bapak terdiam, pandangan gue beralih ke pemuda yang berada di sampingnya, dia telrihat menunggu jawaban sang Bapak. “Yo wes, Makasih ya dek.”

“Iya pak,”gue terdiam sebentar memperhatikan bapaknya naik, lalu turun menuu dampo awang.


Hari minggu siang, gue berpamitan dengan para tetangga tenda dan turun. Diharapkan minggu sore gue udah berada di Basecamp Suwanting dan berada di Jogja saat malam hari.

Merbabu, yang gue ingat dari gunung ini selain  gunungnya yang memang indah, adalah keramah tamahannya warga dusun Suwanting, hal ini sudah diakui oleh banyak para pendaki. Banyak pendaki yang gue temui menilai warga Suwanting masih sangat ramah.  Gue gak ngerti kenapa ada kata ‘masih’ di depan ‘sangat ramah.’ Apakah nanti keramahannya pudar dan menjadi “sudah gak ramah,” semoga enggak.

Jadi, saking ramahnya, setiap gue ketemu warga saat berjalan—baik saat naik ataupun turun gunung—mereka pasti menyapa, “pinra mas.”

Pinra? Entah apa itu pinra, gue gak ngerti. Tapi, mencoba untuk membaur, dengan sok tahu gue jawab ‘enggih bu, enggih pak,’ atau ‘enggih pak, bu,’  bergantung pada gender dan usia warga yang gue temui. Karena sapaan inilah sepanjang perjalanan gue selalu bertanya tanya. Pinra itu apa? Dan gue baru punya kesempatan untuk bertanya saat turun gunung, karena saat turun gunung, menjelang basecamp Suwanting, gue berjalan bertiga bareng dua pendaki dari Jogja. Wich is orang Jawa dan pasti ngerti bahasa Jawa.

Loh, tunggu dulu, Mas Okto mana?

Lupakan Mas Okto. Gue ditinggal jauh saat perjalan turun.  

“Mas, Pinra apa sih?” gue bertanya ke salah satu Mas Jogja.  Mereka terdiam bingung, “pinra?” mas masnya lalu mengulang kata pinra.

“Maksudnya apa ya?” Tanya salah satu mas Jogja.

“Iya mas, pinra.” Jawab gue, “apa ya?” tenggelam dalam penasaran, sepanjang perjalanan gue mecoba mendiskusikan kata pinra ini, berharap mendapatkan hidayah dan pencerahan. Namun sayang gue gak mendapatkan jawaban, mereka gak bisa menjelaskan artinya, dan kita pun lupa dengan kata pinra dan berpindah ke topik lain. Hingga akhirnya setelah hampir setengah jam sunyi dan sepi.

“Oh, Pinarak MAS!” Salahsatu Masnya setengah teriak menjawab. Gue kaget, mas sampingnya juga kaget. Mas Jogja yang mejawab lalu langsung menjelaskan, “bukan pinra mas, tapi ‘Pinarak.’” (baca: pinara’), “ artine mampir mas.”

“Ooh.” Bukan ‘pinra’ tapi ‘pinarak.’ Gue mendapatkan pencerahan, jadi selama ini gue di ajak mampir oleh warga, wah kebayang kalau gue terima ajakan mampir para warga Suwanting sepanjang jalan tadi. Nanti yang ada gue mampir – mampir terus, gak sampai ke puncak. Jalan sedikit, ketemu warga gue mampir ke teras warga, jalan lagi lalu mampir ke saung warga, beitu aja seterusnya. Jadinya, kapan aku mampir ke hati kamu.

Setelah gue di basecamp pun, saat jalan pulang dari Mushala di desa suwanting gue merasakan dekatnya warga suwanting ini dengan para pendaki. Itu terbukti saat ada yang mempersihkan gue untuk mampir.

“Darimana mas?” gue menoleh ke asal suara, lalu gue melihat seorang bapak tersenyum ramah, bertanya ke gue.

“Dari Jakarta, pak” jawab gue sambil membalas senyum.

“Wah, Jakarta?” lalu dengan semangat sang bapak menjawab, “Pinarak mas, pinarak!” Sambil menunjukkan jempol ke arah rumahnya. Reaksi semangatnya begitu menggelora setelah tahu gue berasa dari Jakarta, dan gue rasa ini bukan sekedar basa basi tapi ajakan sungguh sungguh untuk mampir, sayangnya gue harus menolak ajakan sang bapak karena harus buru buru pulang. Lain kali ya pak.

.........

Memasuki dusun Suwanting, setelah berpisah dengan mas mas dari Jogja gue langsung menyusul Mas Okto yang sudah berada di Basecamp. Saat gue tiba di basecamp, gue melihat Mas Okto sedang ngopi santai, saat itu gue Cuma bisa geleng geleng kepala. ‘Memang luar biasa beliau ini, manusia apa bukan sih, cepat banget turunnya.’ Ucap gue dalam hati.

“Mas, nyampe dari kapan? Udah lama ya.” Tanya gue

“Paling baru setengah jam tadi ki.”

Dusta.

.......

Jogjakarta

Kita mendapatkan sebuah guest house di Jalan Sosrowijayan yang terkenal dengan kawasan penginapan murah. Guest house gue terletak di gang gang sempit, guest house ini memiliki gaya bangunan lama khas rumah tionghoa, sungguh unik. Dan kamar yang gue tempati berupa sebuah ruangan 2x2 m2 dengan sekat triplek—membuat suara dari kamar sebelah terdengar dengan jelas—. Di kamar disediakan sebuah kasur double, dan kipas angin kecil. Kamar mandi berada di luar, gue harus melewati sebuah ruang terbuka didalam rumah dan sumur. Benar – benar rumah gaya tionghoa dulu. Tarif guest house semalam, Rp. 80.000.


Malam di Jogja, gue masih tetap memikirkan Merbabu, sambil meminum wedang jahe bersama Mas okto di pinggiran jalan malioboro, gue merasa wedang ini akan lebih enak dimunum di saat gue menggigil di Merbabu. Ya, Gunung itu emang seperti perempuan, semakin cantik semakin sulit membuat move on. Jadi, sekali lagi untuk kalian yang belum ke Merbabu, gue gak menyarankan kalian ke Merbabu, tapi Maksa kalian kesana, asal dengan catatan bawa turun sampahnya dan tatati aturan. Gue janji kalian akan mendapatkan pengalaman menyenangkan yang akan terus diingat sepanjang hidup.

Sabtu, 15 Maret 2014

Kalau cuma soal uang, masih ada alasan untuk tetap bertahan. Pastikan lebih dari soal Uang.



Suatu hari, saat sedang di mobil dalam perjalanan menuju sebuah tempat perbelanjaan, Idham dan Nadia—teman dan rekan kerja gue—, serta gue terlibat sebuah pembicaraan yang serius. Sambil menyetir Idham bertanya ke gue dan Nadia “Gue dapet tawaran kerja nih, menurut lu pada gimana?” mendengar pertanyaan Idham reaksi gue cuma diam. Namun Nadia langsung mencecar soal gaji.

“Gue ditawarin gaji lebih gede. Kalau dibanding sekarang, naik sekitar 30 persen lebih lah.” Jawab Idham dengan yakin. Setelah mendengar jawaban tersebut Nadia memberi saran untuk ambil peluang tersebut. Sementara gue masih terdiam, gue gak terlalu yakin apa yang akan gue jawab.

“Menurut lu gimana ki? Gue ambil aja apa gimana?” Tanya Idham ke gue. Idham yang sebelumnya gak pernah berbincang serius, terus terang bikin gue bingung. Setelah berpikir agak lama gue lalu menjawab dengan pernyataan yang umum untuk orang yang bingung, “cari yang menurut lu baik aja dham, kalau gue..” tapi sebelum jawaban gue mencapai kesimpulannya, ternyata kita sudah sampai di tujuan. Pembahasan soal resign dan gaji pun berhenti seiring dengan laju mobil yang berhenti.

Saat pembicaraan ini terjadi, udah sekitar 10 bulan gue bekerja di Berca Niaga Medika (BNM)—perusahaan distributor alat kesehatan ber-merk PHILIPS—. Dalam periode 10 bulan ini pula, seenggaknya gue telah melihat secara langsung 3 orang rekan kerja gue resign. Dan sebaliknya, ketika banyak yang keluar, banyak juga yang melamar masuk. Dinamis, pergerakannya begitu cepat. Pernah dalam hati gue mempertanyakan kenapa sih mereka resign? apa yang menguatkan mereka untuk resign dan hijrah ke tempat lain. Gue melihat kalau mereka setidaknya mencari satu diantara dua alasan, yaitu uang lebih (baca: gaji gede), atau sebuah kepastian jangka panjang.

ER, salah satu rekan gue saat di BNM resign karena menjadi PNS, walau diakuinya berat melakukan langkah tersebut, karena gaji yang diperoleh jauh lebih kecil dari gajinya saat bekerja di BNM, namun dia tetap mengambil pilihan untuk menjadi PNS. Lebih jelas, alsannya bukan soal uang, tapi soal kepastian jangka panjang yang dia peroleh ketika ‘bekerja pada negara’ dibanding bekerja di sektor swasta yang suatu saat bisa kolaps. Ya, manusia memang membutuhkan kepastian, jangankan bekerja, pasangan pun selalu minta kepastian. *eaaa

Lain ER, lain pula OFM—rekan kerja gue yang menggantikan ER—, dia berkisah bahwa di tempat kerjanya dulu gajinya tiga kali lipat dari sekarang, tapi ketika gue tanya kenapa dia pindah. Alasannya sederhana, di perusahaannya yang dulu kerjanya gak jelas, semua dikerjain, dari yang kecil seperti pasang lampu, sampai yang berat – berat. Lihat kan, ternyata alasan resign gak selalu soal uang, tapi tentang kenyamanan bekerja. 

Satu – satunya hal yang diinginkan manusia adalah sebuah kepastian. Padahal, ketidakpastian itu sudah pasti.

Hal yang buruk sudah pasti berbekas. Tapi tidak dengan yang baik, kadang terlupa (baca: dilupakan)
Gue teringat cerita sepupu gue di Sukabumi yang menceritakan tentang seorang saudara jauh kita. Katanya saudara jauh kita itu, sebut saja AA bisa mendapat gaji 8 juta sebulan, tapi dengan konsekuensi hanya tidur 2 - 3 jam sehari. Gaji 8 juta yang di dapat AA berasal dari seringnya dia kerja lembur. “Buat apa kaya gitu, padahal mah masih muda. Siga kejar setoran wae, da eweuh tanggungan—Kayak kejar setoran aja, padahal gak ada tanggungan.” Terang Sepupu gue sambil menceritakan AA.

Saat mendengar cerita sepupu gue, Jujur gue salut sekaligus kasihan dengan AA. Salut karena dia seorang pekerja keras (dalam artian negatif), kasian karena dari penuturan sepupu gue, AA sering sakit – sakitan akibat sering bekerja lembur. “Lihat aja nanti sok, kalau begitu terus mah uang yang dikumpulin gak akan guna, malah badan ancur.” Sepupu gue lalu menutup pembahasan tentang AA.

“Ya, yang ada uang yang dikumpulkan cuma buat biaya pengobatan ketika sakit.” Kata gue.

Gue jadi teringat sebuah cerita. 
Alkisah ada seorang pendaki gunung pemula berjalan dengan cepat dengan alasan ingin mencapai puncak lebih cepat, lalu dia  seorang pendaki gunung yang lebih tua, ketika berpapasan pendaki tua tersebut  bertanya pada pendaki pemula, “kenapa jalan begitu cepat?” katanya.
“Agar bisa lebih cepat menuju puncak.” Jawab pendaki pemula.
Pendaki tua itu lalu tersenyum dan menjawab. “Berhentilah sejenak, berjalanlah dengan pelan lalu lihat sekelilingmu. Ketika terus fokus memikirkan menikmati berada puncak, kamu telah kehilangan momen untuk menikmati pemandangan sekitar pegunungan yang indah.”

Enjoy today while preparing tomorrow. Dulu, gue berorientasi dengan pertanyaan, bagaimana sih caranya mapan di usia muda—katakanlah di bawah 25 tahun—mencoba mengejar semuanya dengan lebih cepat. Dan jawaban gue paling simpel adalah cari perusahaan yang mau membayar gue lebih, lau resign dari perusahaan sekarang. Dan, mungkin itulah yang melatarbelakangi mereka yang sering berpindah – pindah tempat kerja. Seperti teman gue, Deri. Deri memutuskan melakukan tindakan yang radikal, dia pindah dari tempat kerja sebelumnya sebelum genap bekerja 10 bulan. Dengan alasan, di tempat yang baru dia mendapat gaji yang lebih besar.  Gak ada yang salah sih, gue juga pasti akan melakukan hal yang sama. tapi, segitu buru – burunya?

Dan beberapa Teman – teman gue saat kuliah pun sama, mereka melakukan langkah yang radikal, banyak yang memutuskan resign untuk bekerja pada satu Rumah Sakit yang sedang melakukan perekrutan masal awal tahun ini. Alasan mereka simpel, rumah sakit itu dulu merupakan tempat kita semua kuliah—menjadikan RS tersebut bagai rumah kedua—, dan Rumah Sakit tersebut merupakan rumah sakit ternama di Indonesia. Kalau boleh disebut, Rumah Sakit tersebut adalah RSJPD Harapan Kita. Tapi ternyata, pilihan mereka berbuah konsekuensi lain, kabar terakhir dari teman gue yang kerja di Harkit, beberapa dari mereka ada yang mengeluh kecapekan dan kewalahan bekerja disana, karena frekuensi pasien disana tinggi. Ya, gak ada hal yang terus – terusan baik kan?

Jujur disaat – saat tertentu gue juga selalu memiliki keinginan untuk pindah ke tempat lain. Alasannya banyak, mulai dari gaji yang gue ‘rasa’ gak terlalu besar—padahal gaji gue udah terbilang besar untuk fresh graduate—. Sampai keinginan gue unutuk bekerja di tempat yang fokus pada keilmuan yang gue pelajari di bangku kuliah. Dan dari semua alasan, rasa ingin pindah akan lebih kuat ketika gue mendapatkan tugas yang sulit atau keluar dari job desc gue.’ Dan itulah manusia,  kalau mau dicari – cari pasti akan selalu ada alasan untuk resign, sekali lagi ‘kalau mau dicari – cari.’

Every time i got difficult task from my boss, honestly, it was painful. But, why not, it was my job anyway.

Gue sendiri sempat melamar di RSJPD Harkit saat bekerja di BNM, tapi kemudian gue mundur. Kenapa gue mundur? Simpel. Sekarang kalau cuma soal dapat sebuah pekerjaan, gue udah punya, yang gue belum punya mungkin  kehidupan. Kalau gue hanya pindah karena soal perkara angka atau nama institusi, kayaknya gak akan ada bedanya dengan sekarang. Because, get a better job not mean you get a life. Even worst, it’s can ruin your life.
Saat kita menjalani hidup dan pekerjaan sebatas untuk memenuhi tuntutan dan keinginan hidup, pasti akan sangat melelahkan.

Apa sih yang gue mau dari resign? Uang? Iya, semua orang butuh uang, kalau gue bilang uang gak penting, gue munafik. Tapi, ada yang lebih dari itu gak, selain uang? Mungkin, bahagia. Bahagia ketika kita enjoy apa yang kita kerjakan. Jadi, apakah hidup tentang bagaimana mendapatkan pengakuan? Mencapai puncak lebih cepat? Kayaknya enggak. Hidup mungkin adalah bagaimana kita bisa bahagia dan berkontribusi dalam melakukan pekerjaan. Love what you do. Do what you Love. Enjoy today, while preparing tomorrow.
 
Soal gaji, yakin deh kalau gaji akan mengikuti performance, bukan sebaliknya. Ketika kita bekerja semaksimal mungkin, dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan perusahaan, maka atasan pasti akan mengapresiasi dan punya alasan untuk menaikan gaji kita. Sementara Ketika kita berpikir untuk bekerja seadanya atau malah bekerja malas – malasan karena gaji atau tunjangan kita kecil, justru kita akan tetap terjebak dalam zona dengan gaji kecil.
Di dunia ini gak ada orang dengan gaji besar tapi kerjaannya cuma ongkang - ongkang kaki, kecuali penjilat.

Tapi jika saat kita bekerja maksimal dan gak ada apresiasi dari perusahaan?
Ya kalau begitu, ada baiknya untuk mencari perusahaan yang akan mengapresiasi pekerjaan kita.

Karena memiliki keluarga bukan sebatas hanya memiliki hubungan darah.
Tempat kerja gue dalah tempat yang seru, hampir 8 jam sehari gue bertemu dan berinteraksi dengan rekan kerja gue—kecuali akhir pekan—. Ruangan kerja gue dan teman – teman yang lain hanya sebuah ruangan dengan rak yang menempel di dinding dan sebuah meja panjang tanpa sekat, di tempat kerja gue setiap staff (kecuali manajer) gak punya meja sendiri, semuanya harus berbagi, baik meja, komputer ataupun kursi. Itu dikarenakan kita semua adalah pekerja lapangan yang selalu berpergian, singkat kata, kerja kita diluar, kadang harus pergi ke tempat baru dan bertemu orang – orang baru (baca:customer baru). Ketika ada kesempatan berkumpul selalu aja ada cerita baru dari masing - masing orang, dan yang paling seru, cerita – cerita baru itu selalu ada setiap hari! Ya, setiap hari. Entah itu adalah cerita konyol yang mengundang gelak tawa, atau cerita aneh yang mengundang cemoohan. Setiap orang selalu punya pengalaman dan cerita untuk dibagikan. Kombinasi orang – orang yang unik dan tempat yang dibuat tanpa sekat membuat tempat gue selalu riuh, lebih mirip tempat nongkrong daripada tempat kerja. Bahkan, Mbak Dini—mantan rekan kerja yang udah resign dan sekarang kerja si tempat lain—saat berkesempatan chat di BBM pernah berujar kalau dia sangat merindukan suasana keriuhan diivisi kita. “Kangeeeeeen.” Ketiknya di BBM.

Mungkin, ini yang menguatkan gue untuk menjadikan mereka sebagai keluarga, keluarga yang gue pilih. Ya, ketika semua orang melihat rekan kerja hanya sebatas hubungan kerja, gue memilih untuk menjadikan hubungan ini lebih dari rekan kerja, sebuah hubungan keluarga. Kenapa harus menjadikan mereka keluarga? Seenggaknya gue akan punya alasan untuk lebih nyaman saat bekerja. Mana yang lebih nyaman, bekerja dengan keluarga atau dengan orang lain? Mana yang lebih cepat baikan saat berkelahi, dengan keluarga atau orang lain? Mana yang lebih enak kita repotin, keluarga atau orang lain? (untuk yang terakhir jangan diterapkan, haha)

Kita mungkin gak akan pernah sadar kalau ini yang unik dari kita sampai kita meninggalkan tempat ini, dan merasa kehilangan.

Kesimpulan: Resign? Pertimbangkan. Bekerja gak melulu soal uang, lagi pula uang juga gak menjamin kebahagiaan. Enjoy today while preparing tomorrow.