Disclaimer: Semua foto bukan
milik saya, tapi milik Mas Oktofandy Faisal. Cek IG: @oktofandy
Sudah pernah ke Merbabu? Kalau belum, gue
gak menyarankan kalian untuk kesana, tapi gue MAKSA kalian kesana.
Mempunyai ketinggian 3142 mdpl dengan
sabana yang luas membentang, merbabu bisa dibilang indah, kaya kamu. Keindahan Gn.
Merbabu yang enggak toleransi bisa dibilang membuat gue lebih susah move on
dari gunung ini daripada sama kamu. Apa
sih. Dan beruntung sekali pada bulan bulan agustus tahun 2015 gue berhasil
mempunyai kesempatan pergi ke gunung ini melalui jalur Suwanting.
Jalur Suwanting adalah jalur yang baru
saja dibuka setelah sebelumnya di tutup pada tahun 1998. Dan berada di dusun
Suwanting desa Banyuroto, Kecamatan sawang, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa
Tengah, Indonesia.
Wuih
Lengkap
Iyalah, Terima kasih Google.
Oke, jadi para pembaca yang baik dan
jahat. Gue dan Mas Okto memilih jalur Suwanting karena jalur Suwantig baru dan
belum ramai. Oh iya, Mas Okto ini adalah teman selama pendakian gue, dan beliau
ini adalah pendaki veteran yang diberkahi kekuatan dan kecepatan yang luar biasa,
kalau diibaratkan, Mas Okto ini ibarat Samson. Lebih tepatnya Samson dari
Ciledug. Beliau ini, mampu membawa carrier paling gede dan berat sekalipun. Dulu,
pernah Gue dan Mas Okto mendaki bareng, dia bawa carrier yang saking gedenya gue
curiga itu bukan carrier tapi kulkas dua pintu. Gede banget.
Menuju Suwanting, dari Jakarta kita bisa
naik kereta via Stasiun Pasar Senen dan turun di St. Semarang Tawang,
sebenarnya bisa aja sih ke Jogjakarta.Tapi kita berencana untuk ke merbabu via ke
Semarang Tawang dan pulang baru via St. Lempuyangan Jogjakarta, karena rasanya akan
lebih menyenangkan saat pulang mendaki, kita istirahat dan menikmati malam di Malioboro.
Total waktu yang ditempuh dari Jakarta ke Semarang tawang; 10 Jam.
Jam 3 Pagi, tiba di stasiun Semarang Tawang.
Di dekat stasiun ini ada sebuah masjid yang bisa jadi persingganggan sementara
untuk mandi dan sholat subuh. Setelah itu baru naik angkot ke terminal terboyo.
Oh iya walaupun ada masjid yang gede, di sekitar St. Semarang tawang kalau jam
3 sampai 4 pagi jangan kaget kalau kalian masih bisa ketemu kupu kupu malam yang
suka ngajak - ngajak gak bener.
“Mas, ayok mas,” rayu Mbak - mbak di atas
becak. Ya, mereka memang mangkal sambil setengah tiduran di tempat duduk penumpang
sebuah becak. Agak unik.
Mendengar rayuan maut ala Mbak ini Gue
dan Mas Okto saling berpandangan dan nyengir, bingung mau bereaksi apa.
Setelah shalat subuh kita naik angkot ke
arah teminal terboyo, sambil nyeret carrier di dalam angkot gue meminta maaf
dengan sopan terhadap penumpang lain. Karena khawatir carrier yang gue bawa
mengganggu, tapi gue rasa kekhawatiran gue percuma, karena pagi itu di angkot
banyak ibu – ibu yang bawaannya lebih banyak. Ada yang bawa barang dagangan
yang cukup buat buka warung, jerigen, kayu panggul, dan barang bawaan lain. Jadi,
barang bawaan yang banyak pun semuanya jadi bisa dimaklumi. Akhirnya gue
menyadari bahwa setiap manusia yang berada di angkot ini memang membawa barang
bawaan dan ceritanya masing masing jadi saling menghormati, gak ada alasan
untuk kita masang muka mesem atau berkomentar karena kesempitan. Satu satunya
yang berkomentar hanya supir angkot “ayo, geser sedikit ya mas.” Himbaunya.
Dengan bersinggungan pundak, lutut, dan
kaki, sambil menunduk gue memperhatikan pemandangan kota tua dari jendela
angkot, Gue melihat beberapa bangunan bangunan tua dengan arsitektur kolonila
belanda, semarang Tawang memang berada dalam kawasan kota tua.
Setelah keluar dari kawasan kota tua, angkot
memasuki jalan lintas utara yang padat oleh truk - truk besar mirip optimus
prime. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam sampai akirnya kita tiba di
terminal Terboyo. Terminal terboyo nampak sibuk dengan lalu lalang penumpang,
padahal masih jam 6 kurang saat itu.
Dari terboyo kita naik bus ke Salatiga,
Kenapa Salatiga? Jadi pas kita tiduran di St. Semarang Tawang sekitar jam 3
pagi sebelum pergi ke masjid, kita bertemu dua orang Mas mas—umurnya sekitar 27
tahunan—bertanya“muncak mas?”
Mendengar suara itu, Gue dan Mas Okto—yang
sedang setengah tertidur di bangku tunggu Semarang tawang, dengan carrier
sebagai bantal—langsung mencari arah suara. Ternyata asal suara dari dua orang
mas mas.
“Iya Mas.” Jawab Mas Okto singkat. Mas
mas tersebut lalu menyodorkan tangan, mengajak salaman. Setelah bersalaman,
seperti bertemu teman lama kita terlibat percapakan singkat tentang merbabu.
“Muncak ne nengdi?” Tanya mas nya dengan
logat jawa.
“Hah?” Gue dan Mas Okto bingung.
Lalu teman Mas yang bertanya langsung
menegur dengan bahasa jawa, yang gue artikan mungkin berkata “jangan ditanya
bahasa jawa, kan belum tentu orang jawa.”
“Oh iya, muncak kemana mas?” Mas nya
meralat.
“Merbabu mas,” jawab Mas Okto.
“Wah, dekat rumah saya itu.” Gue berpandangan
sekilas dengan Mas Okto. Seteah itu Mas okto langsung bertanya rute palig baik
dan efektif menuju suwanting. Info ini
emmang yang belum kita ketahui dari jakarta secara detail. Walau sebelumnya
sudah mengumpulkan data dengan modal browsing di internet.
“Ke salatiga dulu mas,” saran Mas nya
dengan logat jawa yang medok, lalu dia menjelaskan kalau ke suwanting, lebih baik
naik bus dari terboyo dan turun di Salatiga, lalu dari Salatiga naik lagi mobil
ke Pasar Kaponan, dan dari pasar kaponan, lalu ke Suwanting.
Lumayan lama berbincang, terdengar sebuah
pemberitahuan kereta ke Surabaya. Lalu dengan terburu - buru dua Mas – mas ini
berpamitan dan melangkah menjauh dari kita, keduanya harus pergi ke Surabaya
dan kereta yang menuju Surabaya sudah mau berangkat. “Ke salatiga mas, terus ke
pasar Kaponan,” teriak Mas nya sambil lari lari kecil mengejar kereta. “Ayok
mas, duluan” mereka lalu melambai sambil masih berlari kecil, lalu kemudian
menghilang dibalik pintu. “Iya Mas, Makasih. Hati – hati,” Jawab kita. Gue tersentuh,
mungkin inilah ajaibnya carrier, buat mereka yang pernah menggendong carrier,
bertemu dengan orang lain yang membawa carrier mungkin akan sedikit mengusik
rasa penasaran dan akhirnya bertanya, “mau muncak kemana mas?” Luar biasa,
sebuah pertemanan bisa dijalin dengan membawa carrier.
Setelah dua kali naik bus, gue dan Mas okto
tiba di Pasar Kaponan. Di sini gue sarapan dan belanja logistik, mempersiapkna
bekal makan siang dan bahan mentah seperti tempe, kol, wortel, jagung dll. Suhu
yang sejuk dan bahan makanan yang murah membuat gue betah disini, rasanya
menyenangkan.
Dari Pasar Kaponan ini udah gak ada angkot
lagi menuju Suwanting, jadi alternatif yang paling baik adalah, “naik truk aja
dek, itu biasa lewat sini,” jawab Ibu penjual Baju Army setelah gue dan Mas
Okto bertanya arah ke Suwanting.
Ibu Penjual Baju Army lalu melanjutkan. “Tuh,
truk nya,” sambil menunjuk sebuah truk besar.
Pandangan gue langsung menuju truk
tersebut, lalu gue memandang Mas Okto yang sedang bengong, gak salah nih ibu? yakin harus naik truk? Lalu
setelah bingung karena tidak menemukan transportasi murah cocok dan terbentur
jadwal yang padat. Cielilah. Akhirnya
kita putuskan naik ojek. Tarif ojek ke Suwanting Rp. 20.000.
Dengan carrier di punggung, dan rambut
abang ojeknya yang agak menggimbal, entah karena kurang shampo atau emang mau
gimbal tapi gagal, Gue dan mas okto menuju basecamp Suwnating di Dusun
Suwanting.
Di basecamp kita disambut oleh pemandangan
gunung merbabu yang hijau dan suasana pedesaan yang dan sederhana. It was
really nice. Basecamp suwanting sederhana, hanya ada sebuah pos jaga untuk
daftar para pendaki dan informasi rute Suwanting berupa spanduk. Juga ada nomor
telepon yang bisa dihubungi kalau ada kendala atau keadaan tertentu. Yang
menarik dari desa suwanting adalah jalannya yang terjal, berupa tanjakan tajam.
Jadi jalan di dusun ini bisa lumayan membuat kita ngos ngosan.
Gue memulai mendaki jam 11.00 pagi. Saat
itu Gue langsung disambut jalan semen terjal menanjak dengan sudut elevasi 45
derajat, jalan ini berhasil membuat nyali gue ciut. Gila, baru mulai udah dapat
tanjakan terjal. Selepas jalan semen yang terjal, neraka gue pun dimulai memasuki
areal perkebunan warga jalan makin terjal dan dengan tanah berbatu. Makin ke
atas, setelah area perkebunan warga, gue memasuki jalan kecil dan masuklah ke
kawasan hutan pinus.
Buat gue yang terlahir lemah, dan selalu
engap kalau naik gunung, mendaki merbabu terasa sangat menguras tenaga, belum
lagi jalur Suwanting itu lumayan terjal, saking terjalnya perlu mendongak untuk
melihat jalan di depan(atas)nya. Namun, gue selalu punya rahasia untuk survive
dalam setiap pendakian, yaitu sabar. Karena mendaki gak melulu soal fisik
sempurna, tapi ini soal kesabaran maksimal dan semangat juang tak terbatas. Cieilah.
“Mas istirahat dulu mas,” gue bersusah
payah minta time out ke Mas Okto. Gak kuat, gila. Mau mati rasanya.
Namun, yang paling sedih dalam mendaki
gunung saat itu adalah, gue gak berhenti untuk makan siang. padahal makan siang
itu penting. Saat itu yang bisa gue lakukan untuk menahan rasa lapar adalah
duduk sambil mengemut coklat. Setelah agak mendingan gue jalan lagi.
“Ayok mas, duluan. Semangat,” sapa sesama
pendaki.
“Iya mas.” Jawab gue tersengal.
Pelajaran penting. Jangan biarkan nasi
bekal makan siang kamu di bawa oleh teman pendaki kamu yang gaya mendakinya
kayak pelari Jamaika. Ya, alasan gue gak makan siang adalah karena bekal gue
dibawa mas okto—yang udah jauh di depan—. Dan gue tertinggal dengan logistik
mentah. Ya, gue salah strategi.
Jam 6 sore gue tiba di Dampo awang atau
Pos 3, Dampo Awang adalah pos terakhir sebelum menuju puncak. Disini tersedia
sumber mata air.
Malam pertama di Dampo Awang, dengan
kondisi yang lelah, kita(gue) memutuskan untuk istirahat di malam pertama dan
muncak keesokan malamnya. Jadi, malam pertama gue bisa menikmati malam cantik
di merbabu, yang kebetulan sedang supermoon. Sekilas info, Supermoon adalah
keadaan bulan berada pada titik paling dekat dengan bumi. Jadi, kelihatan lebih
besar dan terang dari biasanya. Saking terangnya, pada sesaat sebelum gue
mendaki memasuki sabana, awalnya gue kira ada sebuah lampu sorot, atau layar
tancep. Terang banget. Ternyata hanya bulan yang menyinari gue malam itu, bukan
kamu.
Tapi pada akhirnya malam itu gue banyak
habiskan dengan tiduran, gak menikmati pemandangan malam atau supermoon. Capek.
Malam di dampo awang saat itu tenang,
yang terdengar hanya suara angin, wush wush, grebek gerebek. Goyang goyang deh flysheetnya,
berisik.
“Ki, kayaknya kita musti pindah tenda.” Kata
Mas okto sambil tiduran, khawatir dengan angin yang galak menggedor - gedor
tenda.
“Iya mas, kayaknya iya deh, mau masak
juga susah.”
“Ya udah, besok aja ya pindahnya.”
“Oke mas.” Gue kembali tidur.
Pelajaran penting. Saat mendirikan tenda,
pastikan gak di tempat terbuka yang banyak angin.
....
Pagi tiba, keluar tenda gue langsung
disambut semilir angin dingin menusuk yang membuat hidung gue meleleh, keluar ingus.
Karena selalu pengalaman dengan ini, ge selalu mengelap ingus gue dengan kain
di leher gue. Ini terasa praktis walaupun jorok. Ya, lebih baik aripada nyingsring sembarangan.
Dampo awang adalah tempat nongkrong yang
asik, sabtu pagi, setelah masak, gue bekeliling dan menemukan diri dalam
suasana titik diatas awan. Horizon awan mirip lautan menenggelamkan kaki gugung
gunung sekitar yang dibarengi suasana sunyi serta suara angin berhasil membuat
gue puas dengan perjuangan yang gue lakukan. Kalau sudah pada titik ini,
rasanya gak mau pulang dan kerja di Jakarta lagi. Gue merasa seperti inilah
kita harusnya menikmati hari, tenggelam dalam sunyi ketinggian sambil melihat
sebagian muka sang bumi. Kalau udah begini gue hanya bisa berucap dalam hati,
‘here is the place where I belong,’ dalam Bahasa Inggris. Biar keren.
.......
Jawa tengah terkenal dengan gugsan gunung
yang banyak dan indah, dan dari dampo awang kita juga bisa melihat kemegahan
gunung – gunung lain dari kejauhan. Gunung andong, sindoro dan sumbing di
samping kanan dan yang gak kalah kerennya, kita bisa melihat dengan jelas
gunung Merapi berdiri megah persis di sebelah kiri. Jadi secara gak langsung, kita,
para pendaki yang berada di Merbabu ini bertetangga orang yang mendaki merapi.
Hai tetangga.
Itu bendera hasil minjem sama adek - adek
ABG yang kita temui di Merbabu. Jangan cemas, tidak ada ABG yang dilukai saat meminjam
dan berfoto dengan sang merah putih.
Hari sabtu Sore, Weekend tiba, pendaki
yang datang ke dampo awang bertambah ramai, saking ramainya, lingkungan sekitar
tenda gue yang tadinya kosong gak gue sadari udah menjadi lautan tenda, ga
lautan juga sih, cuma agak padat aja. Bahkan saking padatnya gue sempat nyasar,
lupa dengan tenda punya gue sendiri. Tapi, secara teknis tenda yang gue tempati
memang bukan punya gue tapi punya Mas Okto, jadi gue sebenarnya gak akan menemukan tenda punya gue sendiri, ah lupakan.
........
“Ki, minum ener*en dulu, biar kuat.” Hari
minggu jam 3 pagi, Mas Okto membangunkan gue dari luar tenda, gue melihat
melihat Mas Okto memasak minuman makan bergizi, sebuah minuman nutrisi yang
memiliki slogan ‘minum makanan bergizi.’ Oke, biar semangat dan bertenaga
dengan sangat cepat gue mengambil cangkir dan menyeruput dengan, seketika lidah
gue merasakan sensasi terbakar, langsung mati rasa, kepanasan. Baru diseduh banget
ternyata.
Gue dan Mas Okto berjalan melalui sebuah
jalur yang membelah sabana menuju puncak. Suasana saat itu sepi, dari kejauhan Gue
dan Mas Okto mungkin hanya terlihat sebagai dua buah cahaya dari kejauhan,
karena cuma ada kita berdua di radius 100 meter. Memang saat itu kita agak
kepagian mendaki puncak. “Ayok ki,” mas okto berdiri di depan gue sambil
memperhatikan gue yang terdiam memegang lutut, kepayahan. agak menunduk. Gue berusaha
bernafas dengan teratur.
Gue menarik nafas, “oke mas. Ayok.” Sambil
tersengal
Mencapai puncak memang bukan hal yang
mudah, menuju ke tempat tinggi ya konsekuaensinya mendaki. Kalau sudah begini
muncul lagi pikiran untuk menyerah.
Pulang
aja lah. Gak usah ke puncak. Ngapain capek – capek?
Iya, ngapain capek capek. Gue terdiam
sejenak, fase yang krusial dalam setiap pendakian telah tiba, yaitu fase
refleksi diri. Saat itu gue kembali bertanya lagi tujuan dari pendakian ke diri
sendiri. Bertanya, apakah yang gue
lakukan ini sebanding. Apa alasannya?
Lalu, muncul lagi alasannya, alasan yang
selalu berhasil mebuat gue tetap maju menuju puncak, alasannya yaitu kamu.
Halah.
Oke, serius. Jadi alasan dari setiap
pendakian adalah karena saat berada di puncak kitaakan mendapatkann hal yang
gak kita temui setiap hari dalam rutinitas gue. Hal itu adalah rasa puas bisa
melihat pemandangan yang indah dari puncak—yang gak semua orang bisa
melakukannya—, dan rasa lega menaklukan hambatan serta rasa ragu atas diri
sendiri, ragu yang selalu bertanya “apakah kita mampu?” Dan setelah semuanya
berakhir, kita sadar ternyata kita bisa lebih
dari mampu, kita juga menikmatinya.
“Ayok mas,” gue mengangguk mengisyaratkan
mampu. Kita pun kembali berjalan mendaki menuju puncak. Melangkah dengan pasti
dan sedikit ngos ngosan.
Matahari belum terbit, sambil bejalan di
atas sabana dari kejauhan gue melihat pemandangan barisan bukit dan untaian
lampu dari jalanan dan rumah – rumah dibawah. Ini, jelas pemandangan yang langka, gak akan gue temui selain dari jendela
pesawat di malam hari.
Lalu suasana sunyi yang gue dapati saat
menuju puncak semakin membuat gue yakin kalau suasana bising Jakarta adalah
mimpi buruk umat manusia yang hidup di Jakarta. Dan disini berbeda, bukan mimpi
buruk yang gue temukan, disini semuanya sunyi, yang bisa kita dengar hanya
suara nafas, angin dan langkah kaki kita sendiri. Walau ada juga suara “ayok
ki, semangat,” ya itu suara Mas Okto kalau gue udah ketinggalan.
Butuh waktu sekitar dua jam untuk
akhirnya sampai di puncak triangulasi. Semakin ke puncak, antrian para pendaki mulai rapat dan gue terkejut dengan banyaknya
orang yang ada di puncak, lebih banyak dari dampo awang. Wajar, banyaknya jalur
pendakian merbabu jelas membuat populasi pendaki di puncak lebih ramai daripada
jumlah pendaki yang melalui jalur Suwanting.
Berpindah dari puncak Triangulasi gue ke
puncak Kenteng Songo. Kenteng songo ini menarik, karena di Kenteng Songo terdapat batu
- batu dengan lubang ditengahnya mirip sebuah mangkok atau cangkir. Konon batu
ada sembilan batu berbentuk seperti ini, itu juga yang menjadi alasan puncak ini
dinamakan kenteng songo ( sembilan). Sayangnya karena kondisi yang rusak, gue
sulit mngkonfirmasinya jumlahnya, beberapa batu memang masih dalam kondisi
baik, namun beberapa lagi sudah tidak utuh dan hanya terlihat seperti batu
biasa. Sayang banget. Tapi ada hal yang lebih memprihatinkan dari sekedar rusak
karena waktu, yaitu adalah banyaknya corat – coret di bagian batu. Aduh, gue
kasih tahu ya buat sejoli yang pernah
nulis nama kalian di batu di gunung, jangan pernah ulangi lagi, jangan pernah
tulis nama kalian di batu ataupun pohon, karena kalau kalian putus repot
hapusnya.
Turun dari puncak, ada hal menarik, beberapa
kali gue menemui beberapa pendaki dengan umur yang lumayan—boleh ditebak
mungkin sekitar umur lima puluh tahunan— memakai bawahan sarung dan baju lengan
panjang, bebrapa memaka i blankon, beberapa memakai peci. Mereka biasanya
mendaki dengan didampingi beberapa anak muda.
“Masih jauh mas?” tanya Bapak Yang
berusia udah gak muda lagi.
“Lumayan pak, sekitar 45 menit ke atas,”
jawab gue.
“Wah,” sang Bapak terdiam, pandangan gue
beralih ke pemuda yang berada di sampingnya, dia telrihat menunggu jawaban sang
Bapak. “Yo wes, Makasih ya dek.”
“Iya pak,”gue terdiam sebentar
memperhatikan bapaknya naik, lalu turun menuu dampo awang.
Hari minggu siang, gue berpamitan dengan para
tetangga tenda dan turun. Diharapkan minggu sore gue udah berada di Basecamp
Suwanting dan berada di Jogja saat malam hari.
Merbabu, yang gue ingat dari gunung ini selain
gunungnya yang memang indah, adalah keramah
tamahannya warga dusun Suwanting, hal ini sudah diakui oleh banyak para
pendaki. Banyak pendaki yang gue temui menilai warga Suwanting masih sangat
ramah. Gue gak ngerti kenapa ada kata
‘masih’ di depan ‘sangat ramah.’ Apakah nanti keramahannya pudar dan menjadi
“sudah gak ramah,” semoga enggak.
Jadi, saking ramahnya, setiap gue ketemu
warga saat berjalan—baik saat naik ataupun turun gunung—mereka pasti menyapa, “pinra
mas.”
Pinra? Entah apa itu pinra, gue gak
ngerti. Tapi, mencoba untuk membaur, dengan sok tahu gue jawab ‘enggih bu,
enggih pak,’ atau ‘enggih pak, bu,’
bergantung pada gender dan usia warga yang gue temui. Karena sapaan
inilah sepanjang perjalanan gue selalu bertanya tanya. Pinra itu apa? Dan gue
baru punya kesempatan untuk bertanya saat turun gunung, karena saat turun
gunung, menjelang basecamp Suwanting, gue berjalan bertiga bareng dua pendaki dari
Jogja. Wich is orang Jawa dan pasti ngerti bahasa Jawa.
Loh,
tunggu dulu, Mas Okto mana?
Lupakan Mas Okto. Gue ditinggal jauh saat
perjalan turun.
“Mas, Pinra apa sih?” gue bertanya ke
salah satu Mas Jogja. Mereka terdiam
bingung, “pinra?” mas masnya lalu mengulang kata pinra.
“Maksudnya apa ya?” Tanya salah satu mas
Jogja.
“Iya mas, pinra.” Jawab gue, “apa ya?”
tenggelam dalam penasaran, sepanjang perjalanan gue mecoba mendiskusikan kata
pinra ini, berharap mendapatkan hidayah dan pencerahan. Namun sayang gue gak
mendapatkan jawaban, mereka gak bisa menjelaskan artinya, dan kita pun lupa
dengan kata pinra dan berpindah ke topik lain. Hingga akhirnya setelah hampir
setengah jam sunyi dan sepi.
“Oh, Pinarak MAS!” Salahsatu Masnya setengah
teriak menjawab. Gue kaget, mas sampingnya juga kaget. Mas Jogja yang mejawab
lalu langsung menjelaskan, “bukan pinra mas, tapi ‘Pinarak.’” (baca: pinara’),
“ artine mampir mas.”
“Ooh.” Bukan ‘pinra’ tapi ‘pinarak.’ Gue
mendapatkan pencerahan, jadi selama ini gue di ajak mampir oleh warga, wah
kebayang kalau gue terima ajakan mampir para warga Suwanting sepanjang jalan
tadi. Nanti yang ada gue mampir – mampir terus, gak sampai ke puncak. Jalan
sedikit, ketemu warga gue mampir ke teras warga, jalan lagi lalu mampir ke saung
warga, beitu aja seterusnya. Jadinya, kapan aku mampir ke hati kamu.
Setelah gue di basecamp pun, saat jalan
pulang dari Mushala di desa suwanting gue merasakan dekatnya warga suwanting
ini dengan para pendaki. Itu terbukti saat ada yang mempersihkan gue untuk
mampir.
“Darimana mas?” gue menoleh ke asal
suara, lalu gue melihat seorang bapak tersenyum ramah, bertanya ke gue.
“Dari Jakarta, pak” jawab gue sambil
membalas senyum.
“Wah, Jakarta?” lalu dengan semangat sang
bapak menjawab, “Pinarak mas, pinarak!” Sambil menunjukkan jempol ke arah
rumahnya. Reaksi semangatnya begitu
menggelora setelah tahu gue berasa dari Jakarta, dan gue rasa ini bukan sekedar
basa basi tapi ajakan sungguh sungguh untuk mampir, sayangnya gue harus menolak
ajakan sang bapak karena harus buru buru pulang. Lain kali ya pak.
.........
Memasuki dusun Suwanting, setelah
berpisah dengan mas mas dari Jogja gue langsung menyusul Mas Okto yang sudah
berada di Basecamp. Saat gue tiba di basecamp, gue melihat Mas Okto sedang
ngopi santai, saat itu gue Cuma bisa geleng geleng kepala. ‘Memang luar biasa
beliau ini, manusia apa bukan sih, cepat banget turunnya.’ Ucap gue dalam hati.
“Mas, nyampe dari kapan? Udah lama ya.”
Tanya gue
“Paling baru setengah jam tadi ki.”
Dusta.
.......
Jogjakarta
Kita mendapatkan sebuah guest house di
Jalan Sosrowijayan yang terkenal dengan kawasan penginapan murah. Guest house
gue terletak di gang gang sempit, guest house ini memiliki gaya bangunan lama
khas rumah tionghoa, sungguh unik. Dan kamar yang gue tempati berupa sebuah
ruangan 2x2 m2 dengan sekat triplek—membuat suara dari kamar sebelah terdengar
dengan jelas—. Di kamar disediakan sebuah kasur double, dan kipas angin kecil. Kamar
mandi berada di luar, gue harus melewati sebuah ruang terbuka didalam rumah dan
sumur. Benar – benar rumah gaya tionghoa dulu. Tarif guest house semalam, Rp.
80.000.
Malam di Jogja, gue masih tetap
memikirkan Merbabu, sambil meminum wedang jahe bersama Mas okto di pinggiran
jalan malioboro, gue merasa wedang ini akan lebih enak dimunum di saat gue
menggigil di Merbabu. Ya, Gunung itu emang seperti perempuan, semakin cantik
semakin sulit membuat move on. Jadi, sekali lagi untuk kalian yang belum ke
Merbabu, gue gak menyarankan kalian ke Merbabu, tapi Maksa kalian kesana, asal dengan
catatan bawa turun sampahnya dan tatati aturan. Gue janji kalian akan
mendapatkan pengalaman menyenangkan yang akan terus diingat sepanjang hidup.