Mmh, Cinta, sebuah topik yang
menarik dan menggoda untuk dibahas, mumpung momennya tepat, masih februari, gue
tertarik untuk bahas tentang Cinta. Bahas cinta enaknya mulai dari mana ya? mmh
mungkin kita mulai aja dari Fenomena pacaran dan Jomblo.
Zaman sekarang pacaran udah
bukan hal yang aneh. Malah, justru aneh kalau gak pacaran.
Loh?
Kenapa aneh? Bukannya pacaran udah ada dari dulu, bukan sekarang aja kali?
Apanya yang aneh?
Iya, udah ada dari dulu, tapi
gak semasif dan sevulgar
sekarang. Saking masifnya, zaman sekarang para Jomblo justru menjadi minoritas,
seakan menjadi sebuah anomali dan keberadaannya harus diakhiri, secepatnya—kalau
bisa gak jomblo lagi—.
Karena saking terhinanya dan
nistanya, sampai gue kepikiran kalau sudah saatnya dibuat Undang- undang anti
penistaan Jomblo, disamping penistaan agama.
Tenang para Jomblo, kalian gak
sendiri kok, gue juga single (baca:Jomblo). Apakah dengan kalian mengetahui
kalau gue jomblo akan membuat kalian lebih baik? Enggak juga sih. Cuma mau
bilang aja, dan apakah gue akan mencari pacar karena gue jomblo? Enggak. Buat
gue jomblo itu menyenangkan dan gue mempunyai banyak alasan untuk menjomblo
sampai saatnya gue siap untuk menikah, alasannya banyak, dari antisipasi gue
menjaga diri, menyadari bahwa masih banyak cinta. Dan cinta gak melulu soal
pacaran. Cinta itu lebih dari itu.
Cinta
itu menjaga kesucian.
Pernah (berkali – kali) saat
sedang browsing di sebuah jejaring sosial, gue melihat sebuah foto lelaki dan
perempuan remaja berduaan—dari salah satu akun twitter—, supaya enak, panggil
saja mereka Jack & Jill (J&J).
Di foto itu J&J berpelukan
mesra(banget) sambil tertawa ceria, Jill, dari matanya memancar sebuah isyarat
kebahagiaan yang luar biasa. Awalnya biasa, Skip. Gak ada yang harus gue
perhatiin dari fotonya. Tapi, karena foto J&J ada lebih dari satu (baca:
banyak). Gue terpaksa harus terus melihat adegan – adegan mesra mereka di
jejaring sosial tersebut. Semakin gue seret – seret ke atas, fotonya cenderung
semakin kurang sehat. Reaksi gue: Sekarang emang pacaran udah setara pernikahan
ya?
Gak sehat bukan dalam konteks
mereka foto gak pakai cuci tangan, atau mereka sebelum foto belum mandi. Tapi,
mereka udah kelewat batas, ya, pasangan – pasangan yang selalu menampilkan foto
mesra berdua tapi belum menentukan tanggal pernikahan, buat gue udah melewati
batas. Kalau ibarat tembok berlin pemisah kedua jerman. Itu tembok udah dibom
dan dijebol, gak ada batasan.
Kenapa?
Gak ada yang salah kan? Itu hak mereka. Kan so sweeet..
Haah *bau naga*. So sweet? Gak
bisa dipungkiri ya, sekarang, kalau kita melihat adegan begini malah dianggap
so sweet. Bayangin sebuah adegan si Jack mencium kening, terus si Jill tersenyum
tersipu malu setelah dicium keningnya. Dan Reaksi orang sekitar adalah, “iiih. Soo sweeeeeet.” “Yaampun, Iri dech.
Coba aquh punya pacar kayak kalian eaaaa.” (bayangkan ekspresi alay yang
keluar dari kalimat tersebut).
Kalau gue melihat kejadian itu,
gue akan mengucap. “Astagfirullah.” Ya, Astagfirullah. Kalau si Jack dan Jill
belum menikah, kalimat yang benar itu Astagfirullah, bukan ‘So Sweeeet.’ Kecuali,
Jack dan Jill udah menikah. Yang ada gue balik badan, malu. Iya, yang ciuman
siapa yang malu siapa.
Ah, sok
suci lu. Munafik, dasar. Iri aja, dasar Jomblo.
Hemm, boleh jujur gak,
sebenarnya gue juga senang kok, malah gue juga pengen banget cium cewek.
Banget. Bukan cuma cium di pipi atau kening, tapi bagian yang lain juga (jangan
bayangin yang lain). Yakin deh, gue seorang laki – laki. Dan jangan salah, gue
juga pernah pacaran, dan merasakan bagaimana nikmatnya pacaran. Rasanya, dunia
serasa milik berdua, tiap hari yang kepikiran pacar kita. Tapi, gue memilih memberanikan
diri “betaubat.” Singkat kata, gue putus. Ini bukan soal gak cocok, bukan juga
soal jenuh, tapi soal menjaga. Soal Prinsip.
Kenapa harus putus? Memangnya
prinsip macam apa sih yang gue pegang? Ceritanya panjang men. Maka, izinkanlah
gue berbagi cerita dan pemikiran dengan kalian wahai para remaja yang sednag
pacaran dan yang sedang jomblo.
-------------------------------------------
Dulu, saat gue
masih kuliah. Gue mengenal seorang wanita, sebut saja namanya ‘Bunga.’ Bunga
dan Gue selalu dipertemukan di beberapa acara kampus, kami sering menjadi
panitia dalam berbagai acara kampus, bahkan sering berkomunikasi dengan akrab.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebersamaan dan rasa akrab itu menjadi makin
kuat, dan akhirnya rasa akrab itu berubah menjadi sesuatu yang lain, gue gak
yakin berubah menjadi apa, tapi bisa gue deskripsikan, saat itu hanyalah
dengannya gue bisa merasa senang dan nyaman, rasanya ingin selalu dengannya.
(ciaelah)
Gak banyak orang yang tahu dengan rasa yang
gue alami. Antara gue dan bunga pun gak pernah tahu rasa satu sama lain, tapi
yang jelas saat itu adalah gue menyayangi dia. Semuanya nampak lengkap.
Walaupun tidak pernah terucap dimulut, tapi bisa gue rasakan sebuah isyarat
hati dari bunga juga seakan berkomunikasi dan menyatakan rasa.
Tapi siapa
sangka itu gak berlangsung lama, Kebersamaan kita harus berakhir karena Bunga
berbeda. Ya, Bunga berbeda. Dia adalah wanita yang langka, dia bagai satu –
satunya bunga yang mampu memantulakn sinar matahari diantara semua bungan di
taman. Dia istimewa. Karena baginya sebuah hubungan hanya bisa dicapai dengan
cara yang halal, bukan dengan pacaran. Saat itulah gue mengenal sebuah ungkapan,
“menjauh untuk menjaga.”
Saat itu bulan
bulan Oktober, masih musim kemarau, cuaca terasa lebih menyengat dari biasanya.
31 Oktober 2011.
Gue baru
pindah, dari kosan yang lama ke kosan yang baru.
Sehabis pulang
kuliah sangat menyenangkan menikmati suasana kosan baru gue yang ber AC,
dilengkapi kasur spring bed lengkap dengan sebuah TV kabel yang mampu menangkap
50 channel luar dan dalam negeri. Tapi, jangan pernah berpikir gue adalah orang
kaya—karena kost di tempat seperti ini—, karena 3 hari kemudian gue dan teman
gue harus langsung terusir dari kosan yang mewah ini karena gak sanggup bayar.
Tapi pada kesempatan kali ini gue gak akan menceritakan tentang derita kostan
gue, jadi soal kostan kita bahas lain kali.
Walau raga ini
nyaman dengan kasur empuk dan sejuknya AC. Namun, ada yang membuat gue gak
nyaman, membuat pikiran gue selalu terusik. Tepatnya, dua hari yang lalu, gue
mendapatkan sebuah pesan yang aneh. Isi pesannya adalah:
“Gawat! Hubungan kita ketahuan, sekarang bunga
mau disidang.” Pesan dari Bunga.
Apanya yang gawat? Disidang? Hubungan apa yang
ketahuan? Banyak pertanyaan yang ingin gue
lontarkan. Dia lalu mengirim satu lagi sebuah pesan yang menjelaskan pertanyaan
gue, yang pada intinya adalah; Kalau mau begini, kita harus terikat. Bukan
saling dekat seperti ini. Bunga butuh Komitmen.
Sekarang gue
paham. Ini tentang kedekatan kita berdua. Dan setelah pesan itu, gue kehilangan
kontak dengan bunga.
Sudah dua hari
berselang semenjak penjelasan itu. Hati gue masih dihantui perasaan aneh. Gak
nyaman.
Drrrt. Drrrt.
Handphone gue
berdering. Biasanya gue akan langsung mengangkat panggilan telepon, tapi saat
itu gue mematung. Entah kenapa, perasaan gue berkata ini akan menjadi panggilan
yang menyakitkan. Ini panggilan dari bunga.
Gue menekan
tombol hijau. Suara noise handphone mewarnai awal panggilan, namun noise yang
ini aneh. dibanding krsk krsk sinyal
yang jelek, suara itu lebih mirip sebuah tangisan. Ya, itu memang suara seorang
wanita yang sedang menangis. Ada apa ini?
“Lucky?” Terdengar
suara lirih memanggil dari seberang sana.
Gue terdiam,
mulut gue enggan mengatup. Suara lirih ini telah berhasil meciutkan nyali gue
utnuk berbicara.
“Ada yang mau bicara.” Katanya singkat.
“Iya..” Jawab gue
singkat.
Diseberang sana
gue lalu mendengar suara sorang wanita yang lebih berat, dia memperkenalakan
dirinya sebagai Umi(Ibu) dari Bunga. Awalnya percakapan kami membahas hal
biasa, lalu dibukalah apa yang mengusik pikirannya.
“Kok, Kayanya
gak seperti teman biasa ya? dari SMS nya gak bisa dibilang biasa?”
Gue menelan
ludah. Jantung gue berdegup kencang.
“Nak Lucky ada
perasaan dengan Bunga? Soalnya di Keluarga kita, aturannya gak seperti ini.
Harus ada yang mengikat.” Umi terdiam memberikan jeda. “Benar Lucky ada
perasaan sama Bunga?” Lanjutnya menegaskan kata ‘perasaan.’
Seketika ada sesuatu
yang jatuh dari diri gue ke tempat paling dalam. Apa yang harus gue jawab? Saat
itu gue terlalu pengecut untuk mengaku. Di umur gue yang masih menginjak umur
19 tahun, yang gue kenal hanyalah cinta monyet yang dangkal. Betapa dalamnya
pun gue gak akan berani mengikat sebuah komitmen.
Dengan berlagak
meyakinkan gue menjawab. “Enggak bu, biasa aja.”
Entah apa yang
dirasakan bunga saat itu. Tapi gue yakin sekarang kalau isakan tangis itu akan
menjadi lebih keras.
“Yakin?” tanya
umi dari seberang telepon.
Lebih dari satu
tahun berlalu semenjak tangga 31 Oktober. Bunga memberanikan dirinya bercerita
tentang perasaannya tentang gue. dan bagaimana sakitnya melupakan gue. Dia
bilang, sangat sulit baginya buat melupakan gue, karena gue adalah Cinta
pertamanya.
Mendengar
pengakuan bunga, seketika ada sesutau hal dalam diri gue yang pergi jatuh dan
menjauh, dada gue berat.
“Bener deh,
Luki itu yang pertama buat bunga.” Suara pengakuannya terdengar sedikit lirih.
Sebenarnya buat
gue, gak perlu pengakuan dari bunga untuk tahu bagaimana sakitnya dia. Gue
sendiri sering mendengar cerita bagaimana Bunga selalu menangis setiap malam di
kamarnya dari teman satu kosnya—yang merupakan teman gue juga—, namun ketika
ketahuan menagis dan ditanya “kenapa?” Bunga hanya bilang, ‘gak apa-apa kok.’
Sambil menghapus air mata di pipinya. Terus menerus itu berlanjut sampai
sekitar dua tahun lamanya.
Coba, kalau aja,
dulu gue gak mencoba mendekati Bunga. Kalau saja dulu gue bisa lebih dewasa,
kalau saja dulu gue siap. Mungkin nggak akan ada hati yang harus terluka, baik
bunga ataupun gue.
Menghadapai kisah cinta yang begitu pahit. Timbul pertanyaan dalam
diri. Apakah gue masih pantas dicintai? Apakah ini akan terjadi lagi di
kemudian dikemudian hari? Dan apakah
mencintai itu hal yang salah? Dalam batin yang bergejolak (cialeah) gue terus
mencari jawaban. Dalam setiap kesempatan, gue mencoba memutar kembali potongan – potongan memori
yang telah lewat. Cinta, mungkin gue melewatkan sesuatu, sampai gue sadari
bahwa, hanya waktu yang belum tepat. Bunga terlalu cepat hadir, gue gak bisa
mengantisipasi.
Setangkai mawar hanya akan melukai tangan yang memegangnya
dengan cara yang salah. Tapi, jangan anggap durinya hanya melukai, karena tak adil
bila hanya melihat mawar dari durinya, lihat keindahahnnya.
Persoalan hati memang bukan soal main – main men. Menyadari
konsekuensi akan mencintai, gue berkomitmen untuk gak pacaran. Catat. Komitmen tidak berpacaran.
Tapi, dua tahun kemudian komitmen gue pecah,
bagai gelas diatas meja jatuh ke lantai. Prang! Begitu mudah. Dia, sebut saja
Cahaya, telah berhasil menaklukan hati
gue. Jangan anggap gue berlebihan dengan bilang menaklukan, tapi memang begitu adanya.
Menaklukan adalah kata yang tepat, menaklukan hati, juga komitmen gue. Dengan
Cahaya, gue berpacaran—dan menjadi pacaran yang pertama.
Gue belajar sesuatu dari pacaran, pacaran bisa
membuat kita nyaman dan nggak nyaman dalam waktu bersamaan. Menjelma menjadi
pengalaman menyenangkan sekaligus menyebalkan. Entahlah, sulit untuk
dijelaskan.
Enak, nyaman, karena semua hal di dunia
menjadi lebih manis, lebih menyenangkan dan berwarna, sebuah sepia pun bisa
menjadi pelangi. Lebih indah. Menyebalkan, karena pacaran itu begitu pamrih,
menuntut dan gak halal.
Ya, gak halal. Menyadari bahwa sebuah
gandengan tangan bisa menjadi dosa adalah salahstu hal yang membuat gue nggak
nyaman. Sayangnya, perlu waktu lebih dari dua tahun untuk menyadari itu.
Setelah dua tahun, dengan yakin gue menyatakan bahwa kita harus berpisah. Ya, kita
akhirnya berpisah. Karena ternyata lebih baik sendiri tapi lega daripada
bahagia tapi semu, bukan bahagia yang sebenarnya.
Cinta, akan selalu suci, akan selalu menunggu.
Sungguh Allah mencintai orang – orang yang penyabar, tak terkecuali orang yang
penyabar dengan cinta.
Jujur, kedengarannya doang keren, dalam hati
yang paling dalam rasanya sesak bukan main di dada ambil keputusan untuk
berpisah. Tapi dalam menjalani kesendirian, gue berhasil meyakinkan diri, bahwa
kalau cinta seharusnya kita menjaga yang kita cintai, mendahulukan
kepentingannya daripada mementingkan ego dan nafsu.
Memiliki masa lalu itu penting, karena
tugas masa lalu adalah untuk mengingatkan, dia akan dengan senantiasa dan setia
menasehati kita.
Terus
lu ikhlasin aja gitu? Gak lu perjuangin? Yakin akan berakhir indah?
Justru dengan cara ini gue sedang
memperjuangkan cinta, cinta yang lebih indah dan benar. Karena gue percaya,
diluar sana Dia telah mempersiapkan Cinta yang paling baik untuk kita hanya
dengan cara yang halal. Dan suatu saat kita akan meraih cinta kita.
Tapi kapan?
Ketika waktu tiba, ketika kita siap, ketika kita
sadar bahwa cinta itu suci dan perlu dijaga kesuciannya. Cinta itu bukan soal
bersama atau memiliki. Cinta soal menjaga. Menempatkan cinta lebih tinggi dari
nafsu kita. karena cinta yang sehat adalah cinta yang memebuat kita lebih baik,
membuat kita berpikir, membuat kita tetap rasional.
Dan biarkanlah cinta di jaga oleh Sang
Pemilik Cinta. Karena hanya Dia-lah yang maha tahu cara memperlakukan Cinta.
Bahwa kisah
Kamu punya banyak
Cinta, kamu gak pernah kekurangan Cinta.
Ngomongi soal cinta pasti malah nyambungnya ke
pacaran, kekasih dan turunannya, padahal gak seperti itu kok.
She is
my first love. Dia adalah cinta pertama gue. Siapa dia? Dia
adalah ibu gue. Mamah. Mamah adalah perempuan pertama yang ada di hidup gue, bukan
hanya mengandung, tapi dia juga yang mengurusi gue sampai segede gini, dari
dulu gue yang cuma bisa ngiler ama mangap – mangap. Dan itu sudah cukup bagi
gue untuk bilang bahwa Mamah adalah cinta pertama gue.
Gue sering masuk ke kamar Mamah
saat ia sedang beristirahat di kamarnya. Saat gue membuka pintu pasti mamah
tersenyum dan bertanya 'Apa ki?’
Saat itu gue hanya menjawab,
'gak apa apa.' Karena memang gue gak tahu kenapa gue ke kamarnya. Kadang kalau memang
kangen, gue sering menghampiri Mamah
dengan tidur di sebelahnya. Gue lalu memegang tangannya yang sudah keriput dan
kering. Gue tahu betul, kalau tangannya yang kering dan keriput ini bukan dikarenakan
faktor usia, tapi karena seringnya Mamah terpapar detergen saat mencuci baju
dan piring dulu, ketika keluarga kita masih belum mampu beli mesin cuci. Namun tangan
yang keriput dan kering ini masih sama seperti dulu ketika kecil, masih tetap
terasa lembut buat gue.
Ketika gue pegang tanganya mamah
pasti akan bilang 'Ih. Tangan kamu kok kasar ki' atau bilang 'ini tangan kurus
banget.' saat itu, gue hanya akan tersenyum. Dan bilang, ‘gak tahu.’ Saat memegang
tangannya, biasanya Mamah akan mulai menceritakan kisah ketika gue kecil, dia
akan bercerita tentang kenakalan gue, Aa gue, atau si ilmi—adek gue—.
Sambil mamah bercerita, gue
bisa melihat melalui wajahnya betapa dia bahagia memiliki kita semua sebagai
anaknya. Walau diakuinya betapa merepotkan dan begitu besar pengorbanan yang
dilakukan dalam membesarkan kita semua, tapi Mamah gak menyinggung tentang
balasan, menyinggung apa yang harus kita—anak – anaknya—lakukan untuk Mamah.
Sekarang, setelah berumur 22
thn, gue pasti akan selalu menjadi bayi kecilnya Mamah. Ketika ingin balik ke
merantau ke Jakarta Mamah akan penuh perhatian bertanya, 'udah makan belum?'
Atau 'kamu mau ngebekel gak?' ya, seorang Ibu akan menjadi orang yang paling
cerewet dan sangat perhatian ke kita. Dan men,
ngaku aja deh, itu pasti kalian alami juga kan di rumah? Iya kan? Gak usah
risih. Terima aja, itu cinta kok, cinta yang tulus dan mudah.
"Ki, kalau semua
anak ingat masa kecilnya dari bayi sampai balita, gak akan ada anak durhaka."
-Mamah-
Saat hanya bersama Mamah, gue
bisa merasakan namanya cinta. Cinta sejati. Cinta yang tidak menuntut dan
pamrih. Karena cinta sejati tidak mengenal pamrih, dia tidak menuntut. Sama
seperti ibu yang gak kenal pamrih menuntut apa-apa dari anaknya, walau seumur
hidupnya dia dedikasikan untuk anaknya. Bagaimana dengan kalian, kira – kira
mana cinta kalian? Cinta yang gak mengenal pamrih? Cinta yang akan selalu
perhatian, selalu memberi kita semangat, senantiasa mendukung kita saat jatuh.
Kalau ke pacar (baca: cinta
monyet). Gue yakin, satu hari pun gak akan absen pertanyaan ‘udah maem lum?’
kenapa? Karena justru kalau kita gak nanya malah dibilang ‘kamu kok gak perhatian sama akuh! Kamu bosen sama akuh?! JAWAB (sambil
nyekek leher).’ Gak jarang, kita yang baru punya gebetan pun udah sok perhatian
memberondong si monyet dengan pertanyaan 'udah makan belum? Makan pakai apa?
Udah sholat? Udah belum? Belum udah? Udah ya?' Atau ngajak gebetan seperti
jalan – jalan sambil berkata, ‘say, jalan - jalan yuk!'
Lalu, pertanyaanya adalah;
Kapan terkakhir kali kita ngajak ibu kita jalan? "Mah, jalan - jalan
yuk." Kapan? Atau, kapan terakhir kali kita nanya, ‘Mah, udah makan belum?”
Cinta
bukan soal pacaran.
Gue kadang sebal dengan orang
yang sering mengeluh dan menyalahkan cinta. Seperti, "bosan dengan yang
namanya cinta, gitu - gitu aja" atau orang yang melukai tangannya sampai
berdarah, dia foto terus diupload di jejaring sosial sambil mengeluh soal
Cinta. Men, lu yakin itu Cinta? Atau, mengeluh
dan bilang, ‘semua laki – laki sama aja, berengsek. Membaca pernyataan ini,
pertanyaan gue adalah; Semua laki – laki brengsek? Atau lu yang brengsek sampai
laki – laki yang mau dekat cuma yang brengsek – brengsek?
Lama – kelamaan, yang awalnya
sebal melihat mereka begitu galau karena ‘cinta’, gue malah jadi kasihan. I started to pity them. Mungkin bagi
mereka Cinta itu memiliki arti yang sempit. Maka saran gue, bukalah mata lebar
- lebar.
Terus
kalau matanya udah dibuka lebar - lebar, ngapain? Jelasin dong.
Kalau matanya udah dibuka lebar, pegangin.
Ambil pensil atau pulpen, terus colok deh matanya *croot* jadi deh cinta buta. Haha,
skip skip.
Jadi maksudnya, buatlah arti cinta lebih dari
mencintai ‘siapa.’ Mungkin bisa seperti ini. ‘gue mencintai karena Agama.’ Maka
cinta kita mungkin akan lebih luas pengertiannya. Dengan mencintai karen agama
kita akan terus mengindahkan rambu – rambu agama. Mungkin.
Kesimpulan: Cinta, bukan soal pacaran, tapi
soal menjaga.