Senin, 17 Februari 2014

Cinta, apa itu Cinta? menurut gue, inilah cinta.



Mmh, Cinta, sebuah topik yang menarik dan menggoda untuk dibahas, mumpung momennya tepat, masih februari, gue tertarik untuk bahas tentang Cinta. Bahas cinta enaknya mulai dari mana ya? mmh mungkin kita mulai aja dari Fenomena pacaran dan Jomblo.

Zaman sekarang pacaran udah bukan hal yang aneh. Malah, justru aneh kalau gak pacaran.
Loh? Kenapa aneh? Bukannya pacaran udah ada dari dulu, bukan sekarang aja kali? Apanya yang aneh?
Iya, udah ada dari dulu, tapi gak semasif dan sevulgar sekarang. Saking masifnya, zaman sekarang para Jomblo justru menjadi minoritas, seakan menjadi sebuah anomali dan keberadaannya harus diakhiri, secepatnya—kalau bisa gak jomblo lagi—.
Karena saking terhinanya dan nistanya, sampai gue kepikiran kalau sudah saatnya dibuat Undang- undang anti penistaan Jomblo, disamping penistaan agama.
Tenang para Jomblo, kalian gak sendiri kok, gue juga single (baca:Jomblo). Apakah dengan kalian mengetahui kalau gue jomblo akan membuat kalian lebih baik? Enggak juga sih. Cuma mau bilang aja, dan apakah gue akan mencari pacar karena gue jomblo? Enggak. Buat gue jomblo itu menyenangkan dan gue mempunyai banyak alasan untuk menjomblo sampai saatnya gue siap untuk menikah, alasannya banyak, dari antisipasi gue menjaga diri, menyadari bahwa masih banyak cinta. Dan cinta gak melulu soal pacaran. Cinta itu lebih dari itu.

Cinta itu menjaga kesucian.
Pernah (berkali – kali) saat sedang browsing di sebuah jejaring sosial, gue melihat sebuah foto lelaki dan perempuan remaja berduaan—dari salah satu akun twitter—, supaya enak, panggil saja mereka Jack & Jill (J&J).
Di foto itu J&J berpelukan mesra(banget) sambil tertawa ceria, Jill, dari matanya memancar sebuah isyarat kebahagiaan yang luar biasa. Awalnya biasa, Skip. Gak ada yang harus gue perhatiin dari fotonya. Tapi, karena foto J&J ada lebih dari satu (baca: banyak). Gue terpaksa harus terus melihat adegan – adegan mesra mereka di jejaring sosial tersebut. Semakin gue seret – seret ke atas, fotonya cenderung semakin kurang sehat. Reaksi gue: Sekarang emang pacaran udah setara pernikahan ya?
Gak sehat bukan dalam konteks mereka foto gak pakai cuci tangan, atau mereka sebelum foto belum mandi. Tapi, mereka udah kelewat batas, ya, pasangan – pasangan yang selalu menampilkan foto mesra berdua tapi belum menentukan tanggal pernikahan, buat gue udah melewati batas. Kalau ibarat tembok berlin pemisah kedua jerman. Itu tembok udah dibom dan dijebol, gak ada batasan.
Kenapa? Gak ada yang salah kan? Itu hak mereka. Kan so sweeet..
Haah *bau naga*. So sweet? Gak bisa dipungkiri ya, sekarang, kalau kita melihat adegan begini malah dianggap so sweet. Bayangin sebuah adegan si Jack mencium kening, terus si Jill tersenyum tersipu malu setelah dicium keningnya. Dan Reaksi orang sekitar adalah, “iiih. Soo sweeeeeet.” “Yaampun, Iri dech. Coba aquh punya pacar kayak kalian eaaaa.” (bayangkan ekspresi alay yang keluar dari kalimat tersebut).
Kalau gue melihat kejadian itu, gue akan mengucap. “Astagfirullah.” Ya, Astagfirullah. Kalau si Jack dan Jill belum menikah, kalimat yang benar itu Astagfirullah, bukan ‘So Sweeeet.’ Kecuali, Jack dan Jill udah menikah. Yang ada gue balik badan, malu. Iya, yang ciuman siapa yang malu siapa.
Ah, sok suci lu. Munafik, dasar. Iri aja, dasar Jomblo.
Hemm, boleh jujur gak, sebenarnya gue juga senang kok, malah gue juga pengen banget cium cewek. Banget. Bukan cuma cium di pipi atau kening, tapi bagian yang lain juga (jangan bayangin yang lain). Yakin deh, gue seorang laki – laki. Dan jangan salah, gue juga pernah pacaran, dan merasakan bagaimana nikmatnya pacaran. Rasanya, dunia serasa milik berdua, tiap hari yang kepikiran pacar kita. Tapi, gue memilih memberanikan diri “betaubat.” Singkat kata, gue putus. Ini bukan soal gak cocok, bukan juga soal jenuh, tapi soal menjaga. Soal Prinsip.
Kenapa harus putus? Memangnya prinsip macam apa sih yang gue pegang? Ceritanya panjang men. Maka, izinkanlah gue berbagi cerita dan pemikiran dengan kalian wahai para remaja yang sednag pacaran dan yang sedang jomblo.
-------------------------------------------
Dulu, saat gue masih kuliah. Gue mengenal seorang wanita, sebut saja namanya ‘Bunga.’ Bunga dan Gue selalu dipertemukan di beberapa acara kampus, kami sering menjadi panitia dalam berbagai acara kampus, bahkan sering berkomunikasi dengan akrab. Seiring dengan berjalannya waktu, kebersamaan dan rasa akrab itu menjadi makin kuat, dan akhirnya rasa akrab itu berubah menjadi sesuatu yang lain, gue gak yakin berubah menjadi apa, tapi bisa gue deskripsikan, saat itu hanyalah dengannya gue bisa merasa senang dan nyaman, rasanya ingin selalu dengannya. (ciaelah)
 Gak banyak orang yang tahu dengan rasa yang gue alami. Antara gue dan bunga pun gak pernah tahu rasa satu sama lain, tapi yang jelas saat itu adalah gue menyayangi dia. Semuanya nampak lengkap. Walaupun tidak pernah terucap dimulut, tapi bisa gue rasakan sebuah isyarat hati dari bunga juga seakan berkomunikasi dan menyatakan rasa.
Tapi siapa sangka itu gak berlangsung lama, Kebersamaan kita harus berakhir karena Bunga berbeda. Ya, Bunga berbeda. Dia adalah wanita yang langka, dia bagai satu – satunya bunga yang mampu memantulakn sinar matahari diantara semua bungan di taman. Dia istimewa. Karena baginya sebuah hubungan hanya bisa dicapai dengan cara yang halal, bukan dengan pacaran. Saat itulah gue mengenal sebuah ungkapan, “menjauh untuk menjaga.”

Saat itu bulan bulan Oktober, masih musim kemarau, cuaca terasa lebih menyengat dari biasanya.
31 Oktober 2011.
Gue baru pindah, dari kosan yang lama ke kosan yang baru.
Sehabis pulang kuliah sangat menyenangkan menikmati suasana kosan baru gue yang ber AC, dilengkapi kasur spring bed lengkap dengan sebuah TV kabel yang mampu menangkap 50 channel luar dan dalam negeri. Tapi, jangan pernah berpikir gue adalah orang kaya—karena kost di tempat seperti ini—, karena 3 hari kemudian gue dan teman gue harus langsung terusir dari kosan yang mewah ini karena gak sanggup bayar. Tapi pada kesempatan kali ini gue gak akan menceritakan tentang derita kostan gue, jadi soal kostan kita bahas lain kali.
Walau raga ini nyaman dengan kasur empuk dan sejuknya AC. Namun, ada yang membuat gue gak nyaman, membuat pikiran gue selalu terusik. Tepatnya, dua hari yang lalu, gue mendapatkan sebuah pesan yang aneh. Isi pesannya adalah:
 “Gawat! Hubungan kita ketahuan, sekarang bunga mau disidang.” Pesan dari Bunga.
Apanya yang gawat? Disidang? Hubungan apa yang ketahuan? Banyak pertanyaan yang ingin gue lontarkan. Dia lalu mengirim satu lagi sebuah pesan yang menjelaskan pertanyaan gue, yang pada intinya adalah; Kalau mau begini, kita harus terikat. Bukan saling dekat seperti ini. Bunga butuh Komitmen.
Sekarang gue paham. Ini tentang kedekatan kita berdua. Dan setelah pesan itu, gue kehilangan kontak dengan bunga.
Sudah dua hari berselang semenjak penjelasan itu. Hati gue masih dihantui perasaan aneh. Gak nyaman.
Drrrt. Drrrt.
Handphone gue berdering. Biasanya gue akan langsung mengangkat panggilan telepon, tapi saat itu gue mematung. Entah kenapa, perasaan gue berkata ini akan menjadi panggilan yang menyakitkan. Ini panggilan dari bunga.
Gue menekan tombol hijau. Suara noise handphone mewarnai awal panggilan, namun noise yang ini aneh. dibanding krsk krsk sinyal yang jelek, suara itu lebih mirip sebuah tangisan. Ya, itu memang suara seorang wanita yang sedang menangis. Ada apa ini?
“Lucky?” Terdengar suara lirih memanggil dari seberang sana.
Gue terdiam, mulut gue enggan mengatup. Suara lirih ini telah berhasil meciutkan nyali gue utnuk berbicara.
“Ada yang mau bicara.” Katanya singkat.
“Iya..” Jawab gue singkat.
Diseberang sana gue lalu mendengar suara sorang wanita yang lebih berat, dia memperkenalakan dirinya sebagai Umi(Ibu) dari Bunga. Awalnya percakapan kami membahas hal biasa, lalu dibukalah apa yang mengusik pikirannya.
“Kok, Kayanya gak seperti teman biasa ya? dari SMS nya gak bisa dibilang biasa?”
Gue menelan ludah. Jantung gue berdegup kencang.
“Nak Lucky ada perasaan dengan Bunga? Soalnya di Keluarga kita, aturannya gak seperti ini. Harus ada yang mengikat.” Umi terdiam memberikan jeda. “Benar Lucky ada perasaan sama Bunga?” Lanjutnya menegaskan kata ‘perasaan.’
Seketika ada sesuatu yang jatuh dari diri gue ke tempat paling dalam. Apa yang harus gue jawab? Saat itu gue terlalu pengecut untuk mengaku. Di umur gue yang masih menginjak umur 19 tahun, yang gue kenal hanyalah cinta monyet yang dangkal. Betapa dalamnya pun gue gak akan berani mengikat sebuah komitmen.
Dengan berlagak meyakinkan gue menjawab. “Enggak bu, biasa aja.”
Entah apa yang dirasakan bunga saat itu. Tapi gue yakin sekarang kalau isakan tangis itu akan menjadi lebih keras.
“Yakin?” tanya umi dari seberang telepon.

Lebih dari satu tahun berlalu semenjak tangga 31 Oktober. Bunga memberanikan dirinya bercerita tentang perasaannya tentang gue. dan bagaimana sakitnya melupakan gue. Dia bilang, sangat sulit baginya buat melupakan gue, karena gue adalah Cinta pertamanya.
Mendengar pengakuan bunga, seketika ada sesutau hal dalam diri gue yang pergi jatuh dan menjauh, dada gue berat.
“Bener deh, Luki itu yang pertama buat bunga.” Suara pengakuannya terdengar sedikit lirih.
Sebenarnya buat gue, gak perlu pengakuan dari bunga untuk tahu bagaimana sakitnya dia. Gue sendiri sering mendengar cerita bagaimana Bunga selalu menangis setiap malam di kamarnya dari teman satu kosnya—yang merupakan teman gue juga—, namun ketika ketahuan menagis dan ditanya “kenapa?” Bunga hanya bilang, ‘gak apa-apa kok.’ Sambil menghapus air mata di pipinya. Terus menerus itu berlanjut sampai sekitar dua tahun lamanya.

Coba, kalau aja, dulu gue gak mencoba mendekati Bunga. Kalau saja dulu gue bisa lebih dewasa, kalau saja dulu gue siap. Mungkin nggak akan ada hati yang harus terluka, baik bunga ataupun gue.
Menghadapai kisah cinta yang begitu pahit. Timbul pertanyaan dalam diri. Apakah gue masih pantas dicintai? Apakah ini akan terjadi lagi di kemudian dikemudian hari? Dan apakah mencintai itu hal yang salah? Dalam batin yang bergejolak (cialeah) gue terus mencari jawaban. Dalam setiap kesempatan, gue mencoba  memutar kembali potongan – potongan memori yang telah lewat. Cinta, mungkin gue melewatkan sesuatu, sampai gue sadari bahwa, hanya waktu yang belum tepat. Bunga terlalu cepat hadir, gue gak bisa mengantisipasi.

Setangkai mawar hanya akan melukai tangan yang memegangnya dengan cara yang salah. Tapi, jangan anggap durinya hanya melukai, karena tak adil bila hanya melihat mawar dari durinya, lihat keindahahnnya.

Persoalan hati memang bukan soal main – main men. Menyadari konsekuensi akan mencintai, gue berkomitmen untuk gak pacaran. Catat. Komitmen tidak berpacaran.
Tapi, dua tahun kemudian komitmen gue pecah, bagai gelas diatas meja jatuh ke lantai. Prang! Begitu mudah. Dia, sebut saja Cahaya,  telah berhasil menaklukan hati gue. Jangan anggap gue berlebihan dengan bilang menaklukan, tapi memang begitu adanya. Menaklukan adalah kata yang tepat, menaklukan hati, juga komitmen gue. Dengan Cahaya, gue berpacaran—dan menjadi pacaran yang pertama.
Gue belajar sesuatu dari pacaran, pacaran bisa membuat kita nyaman dan nggak nyaman dalam waktu bersamaan. Menjelma menjadi pengalaman menyenangkan sekaligus menyebalkan. Entahlah, sulit untuk dijelaskan.
Enak, nyaman, karena semua hal di dunia menjadi lebih manis, lebih menyenangkan dan berwarna, sebuah sepia pun bisa menjadi pelangi. Lebih indah. Menyebalkan, karena pacaran itu begitu pamrih, menuntut dan gak halal.
Ya, gak halal. Menyadari bahwa sebuah gandengan tangan bisa menjadi dosa adalah salahstu hal yang membuat gue nggak nyaman. Sayangnya, perlu waktu lebih dari dua tahun untuk menyadari itu. Setelah dua tahun, dengan yakin gue menyatakan bahwa kita harus berpisah. Ya, kita akhirnya berpisah. Karena ternyata lebih baik sendiri tapi lega daripada bahagia tapi semu, bukan bahagia yang sebenarnya.

 Cinta, akan selalu suci, akan selalu menunggu. Sungguh Allah mencintai orang – orang yang penyabar, tak terkecuali orang yang penyabar dengan cinta.

Jujur, kedengarannya doang keren, dalam hati yang paling dalam rasanya sesak bukan main di dada ambil keputusan untuk berpisah. Tapi dalam menjalani kesendirian, gue berhasil meyakinkan diri, bahwa kalau cinta seharusnya kita menjaga yang kita cintai, mendahulukan kepentingannya daripada mementingkan ego dan nafsu.

Memiliki masa lalu itu penting, karena tugas masa lalu adalah untuk mengingatkan, dia akan dengan senantiasa dan setia menasehati kita.

Terus lu ikhlasin aja gitu? Gak lu perjuangin? Yakin akan berakhir indah?
Justru dengan cara ini gue sedang memperjuangkan cinta, cinta yang lebih indah dan benar. Karena gue percaya, diluar sana Dia telah mempersiapkan Cinta yang paling baik untuk kita hanya dengan cara yang halal. Dan suatu saat kita akan meraih cinta kita.
Tapi kapan?
Ketika waktu tiba, ketika kita siap, ketika kita sadar bahwa cinta itu suci dan perlu dijaga kesuciannya. Cinta itu bukan soal bersama atau memiliki. Cinta soal menjaga. Menempatkan cinta lebih tinggi dari nafsu kita. karena cinta yang sehat adalah cinta yang memebuat kita lebih baik, membuat kita berpikir, membuat kita tetap rasional.

Dan biarkanlah cinta di jaga oleh Sang Pemilik Cinta. Karena hanya Dia-lah yang maha tahu cara memperlakukan Cinta.
Bahwa kisah

Kamu punya banyak Cinta, kamu gak pernah kekurangan Cinta.
Ngomongi soal cinta pasti malah nyambungnya ke pacaran, kekasih dan turunannya, padahal gak seperti itu kok.
She is my first love. Dia adalah cinta pertama gue. Siapa dia? Dia adalah ibu gue. Mamah. Mamah adalah perempuan pertama yang ada di hidup gue, bukan hanya mengandung, tapi dia juga yang mengurusi gue sampai segede gini, dari dulu gue yang cuma bisa ngiler ama mangap – mangap. Dan itu sudah cukup bagi gue untuk bilang bahwa Mamah adalah cinta pertama gue.

Gue sering masuk ke kamar Mamah saat ia sedang beristirahat di kamarnya. Saat gue membuka pintu pasti mamah tersenyum dan bertanya 'Apa ki?’
Saat itu gue hanya menjawab, 'gak apa apa.' Karena memang gue gak tahu kenapa gue ke kamarnya. Kadang kalau memang kangen, gue sering  menghampiri Mamah dengan tidur di sebelahnya. Gue lalu memegang tangannya yang sudah keriput dan kering. Gue tahu betul, kalau tangannya yang kering dan keriput ini bukan dikarenakan faktor usia, tapi karena seringnya Mamah terpapar detergen saat mencuci baju dan piring dulu, ketika keluarga kita masih belum mampu beli mesin cuci. Namun tangan yang keriput dan kering ini masih sama seperti dulu ketika kecil, masih tetap terasa lembut buat gue.
Ketika gue pegang tanganya mamah pasti akan bilang 'Ih. Tangan kamu kok kasar ki' atau bilang 'ini tangan kurus banget.' saat itu, gue hanya akan tersenyum. Dan bilang, ‘gak tahu.’ Saat memegang tangannya, biasanya Mamah akan mulai menceritakan kisah ketika gue kecil, dia akan bercerita tentang kenakalan gue, Aa gue, atau si ilmi—adek gue—.
Sambil mamah bercerita, gue bisa melihat melalui wajahnya betapa dia bahagia memiliki kita semua sebagai anaknya. Walau diakuinya betapa merepotkan dan begitu besar pengorbanan yang dilakukan dalam membesarkan kita semua, tapi Mamah gak menyinggung tentang balasan, menyinggung apa yang harus kita—anak – anaknya—lakukan untuk Mamah.
Sekarang, setelah berumur 22 thn, gue pasti akan selalu menjadi bayi kecilnya Mamah. Ketika ingin balik ke merantau ke Jakarta Mamah akan penuh perhatian bertanya, 'udah makan belum?' Atau 'kamu mau ngebekel gak?' ya, seorang Ibu akan menjadi orang yang paling cerewet dan sangat perhatian ke kita. Dan men, ngaku aja deh, itu pasti kalian alami juga kan di rumah? Iya kan? Gak usah risih. Terima aja, itu cinta kok, cinta yang tulus dan mudah.

"Ki, kalau semua anak ingat masa kecilnya dari bayi sampai balita, gak akan ada anak durhaka."
-Mamah-

Saat hanya bersama Mamah, gue bisa merasakan namanya cinta. Cinta sejati. Cinta yang tidak menuntut dan pamrih. Karena cinta sejati tidak mengenal pamrih, dia tidak menuntut. Sama seperti ibu yang gak kenal pamrih menuntut apa-apa dari anaknya, walau seumur hidupnya dia dedikasikan untuk anaknya. Bagaimana dengan kalian, kira – kira mana cinta kalian? Cinta yang gak mengenal pamrih? Cinta yang akan selalu perhatian, selalu memberi kita semangat, senantiasa mendukung kita saat jatuh.

Kalau ke pacar (baca: cinta monyet). Gue yakin, satu hari pun gak akan absen pertanyaan ‘udah maem lum?’ kenapa? Karena justru kalau kita gak nanya malah dibilang ‘kamu kok gak perhatian sama akuh! Kamu bosen sama akuh?! JAWAB (sambil nyekek leher).’ Gak jarang, kita yang baru punya gebetan pun udah sok perhatian memberondong si monyet dengan pertanyaan 'udah makan belum? Makan pakai apa? Udah sholat? Udah belum? Belum udah? Udah ya?' Atau ngajak gebetan seperti jalan – jalan sambil berkata, ‘say, jalan - jalan yuk!'
Lalu, pertanyaanya adalah; Kapan terkakhir kali kita ngajak ibu kita jalan? "Mah, jalan - jalan yuk." Kapan? Atau, kapan terakhir kali kita nanya, ‘Mah, udah makan belum?”


Cinta bukan soal pacaran.
Gue kadang sebal dengan orang yang sering mengeluh dan menyalahkan cinta. Seperti, "bosan dengan yang namanya cinta, gitu - gitu aja" atau orang yang melukai tangannya sampai berdarah, dia foto terus diupload di jejaring sosial sambil mengeluh soal Cinta. Men, lu yakin itu Cinta? Atau, mengeluh dan bilang, ‘semua laki – laki sama aja, berengsek. Membaca pernyataan ini, pertanyaan gue adalah; Semua laki – laki brengsek? Atau lu yang brengsek sampai laki – laki yang mau dekat cuma yang brengsek – brengsek?
Lama – kelamaan, yang awalnya sebal melihat mereka begitu galau karena ‘cinta’, gue malah jadi kasihan. I started to pity them. Mungkin bagi mereka Cinta itu memiliki arti yang sempit. Maka saran gue, bukalah mata lebar - lebar.
Terus kalau matanya udah dibuka lebar - lebar, ngapain? Jelasin dong.
Kalau matanya udah dibuka lebar, pegangin. Ambil pensil atau pulpen, terus colok deh matanya *croot* jadi deh cinta buta. Haha, skip skip.
Jadi maksudnya, buatlah arti cinta lebih dari mencintai ‘siapa.’ Mungkin bisa seperti ini. ‘gue mencintai karena Agama.’ Maka cinta kita mungkin akan lebih luas pengertiannya. Dengan mencintai karen agama kita akan terus mengindahkan rambu – rambu agama. Mungkin.

Kesimpulan: Cinta, bukan soal pacaran, tapi soal menjaga.