Di
dunia pekerjaan, sebuah tanggung jawab akan melibatkan banyak pihak. Beri
contoh, ada satu perusahaan yang mempekerjakan seorang Debt Collector. Sang Debt
Collector akan bertanggung jawab dengan penagihan pembayaran dan lain – lain,
yang pada dasarnya merupakan pemasukan dari perusahaan tersebut. Tapi, apa
jadinya kalau si debt collector ini tidak melakukan tugasnya secara benar,
mungkin perusahaan itu akan mandek, si petugas admin tidak bisa memproses
administrasi dan penyelesaian pembayaran. Bahkan, jika sampai si Debt Collector
sama sekai tidak melakukan tugasnya atau menyelewengkan uangnya. Mungkin perusaaan ini akan mandek atau
bangkrut. Itu baru debt Collector, belum yang lain. Ini pun berlaku bagi
organisasi.
Soal
tanggung jawab, yang paling sering gue temui adalah, kadang orang - orang belum
bisa menyadari tugas dan tanggung jawabnya masing – masing. Biasanya hal ini
akan mengakibatkan terjadinya konflik – konflik horizontal yang berkutat melulu
tentang memperdebatkan siapa yang harus bertugas dan bertanggung jawab. Hal
ini, bisa terjadi karena banyak hal. Entah dari mental , atau kebijakan
perusahaan.
Mental
seseorang sangat berpengaruh, banyak terjadi sang pemangku tugas dan tanggung
jawab tidak mengerti secara jelas tanggung jawabnya. Entah karena memang sulit
mengerti atau secara mental dia orang yang gagal bertanggung jawab.
Kedua,
perusahaan tidak memberikan otoritas dan batasan yang jelas tentang tugas dan
tanggung jawab. Sehingga banyaknya wilayah abu – abu yang tidak secara tegas disebutkan
bisa dipegang pihak A atau pihak B, atau bahkan wilayah abu – abu dimana tidak
dipegang pihak manapun sama sekali.
Ini
yang sering gue alami di perusahaan gue bekerja. Banyak wilayah abu – abu yang
rentan terhadap potensi konflik, tapi harus gue sadari, dalam dunia kerja hal
seperti ini lumrah, biasa. Ketika gue menyempatkan berdiskusi dengan teman gue
di perusahaan lain pun, hal seperti ini ada, walau kecil pasti selalu ada. Ya,
intinya tanggung jawab bisa menjadi sebuah masalah jika kita tidak bisa menyikapi
dengan benar.
Suatu
ketika waktu masih awal bekerja –masih hitungan bulan—, saat gue masih bisa
dibilang anak cabai rawit (bukan cabe – cabean), Senior gue bertanya ke gue. Pertanyaan
yang dia lontarkan cukup aneh buat gue saat itu.
“Ki,
Kira – kira, Luki mau gak suatu saat nanti, jika terjadi sebuah permasalahan.
Luki akan bertanggung jawab atas kesalahan orang lain?” Tanya senior gue—sebut
saja namanya ER.
Gue
mengerenyitkan dahi, ‘bertanggung jawab atas kesalahan orang lain?’ dalam hati
gue mengulang pertanyaan ER. Entah kejadian apa yang menimpa ER saat itu sampai
bisa melontarkan pertanyaan itu pada gue, haha. Tentu saja secara spontan dalam
hati gue menjawab “Enggak.” Namun melihat pertanyaan ini begitu serius
ditujukkan pada gue, gue menjawab. “tergantung bagaimana kesalahannya.”
“Oh,
jadi nanti luki akan membiarkan temannya dijatuhkan jika berbuat salah, atau
dipojokkan di hadapan atasan dan tidak membiarkan tim tetap solid?” ER
menyerang gue.
“Bukan
seperti itu pak.” Jawab gue membela diri. “Sebuah kesalahan merupakan akumulasi
dari masalah – masalah kecil.” Lanjut gue, “jadi ini semua bergantung apda
kesalahannya, kalau saya memiliki andil walau sedikit, mungkin saya bisa
bertanggung jawab. Tapi tidak bertanggung jawab atas kesalahannya.”
“Loh,
sama aja dong?” tanya ER menyudutkan gue. “Jadi luki lebih senang jika temannya
terlihat jelek daripada Luki? Bagaimana kalau itu menyangkut hal yang lebih
besar? Masih mau bilang enggak?”
“Ooh,
mungkin, bisa iya atau enggak, pak. Mungkin Iya, saya akan (bertanggung
jawab).” Mendengar jawaban gue ER langsung tersenyum dan bilang, “ya, kalau
jawabanya iya, mudah – mudaha Luki bisa menjadi pemimpin yang baik, yang berani
bertanggung jawab.”
Saat
itu jawaban gue bisa iya, atau tidak, namun dalam hati gue menegaskan bahwa gue
akan menjawab ‘tidak’ jika harus bertanggungjawab atas kesalahan orang lain.
Karena buat apa bertanggung jawab atas kesalahan orang lain.
Tapi,
jawaban gue ternyata berubah ketika kembali dihadapakan dengan pertanyaan ‘maukah
bertanggug jawab terhadap kesalahan orang lain’ untuk kedua kalinya. Namun kali
ini berbeda, bukan lagi sebuah pertanyaan lisan dari ER, tapi pertanyaan nyata
yang membutuhkan jawaban yang nyata juga. Jadi, ceritanya begini, ketika masih
awal - awal bekerja, gue dan seorang rekan gue masih sering lempar – lempar
tugas, ini biasa dan tidak pernah menjadi masalah. Sebut saja rekan gue ini
sebagai ‘Mawar.’ Pada suatu ketika, ada sebuah pekerjaan yang diberikan pada
mawar, tugas Top Priority dengan tanggung jawab yang besar, sebut saja tugas
ini tugas A. Namun, sebelum mawar mengeksekusi tugas A, diterimanya lagi sebuah
tugas—bukan top priority, dalam waktu yang sama. Bentrok. Saat itu dengan tidak
mempertimbangkan skala prioritas bisa dibilang mawar lebih memilih tugas B—yang
less priority—dan melimpahkan tugas A ke gue.
“Ki,
lo kerjain ini ya.” Seru Mawar. “Gue mau ngerjain tugas yang lain.”
“Loh?
Kok gue?” jawab gue singkat. “Serius nih, soalnya gue belum dapat info contact
person sama bentuk tugasnya mau bagaimana?”
“Ya
udahlah, santai aja. Nanti kalau udah dihubungi orangnya aja baru lu proses
tugas A, kalau enggak dihubungi ya diemin aja.” Jawab mawar dengan
menyepelekan. Yang disebut ‘orangnya’ disini adalah yang melayangkan permintaan
penyelesaian tugas A—sebut saja dengan DR.
Bisa
dilihat, terjadi sebuah proses yang gak benar dalam pelimpahan tanggung jawab
ini. Pertama, kualitas komunikasi yang kurang bagus antara gue dan Mawar, lihat
bagaimana Mawar menyepelekan tugas A, yang berimbas pada gue juga menyepelekan
tugas A. Sehingga gue gak mem-follow up tugas A. Padahal, jika mau ditinjau lagi,
tugas A memiliki tanggung jawab yang besar.
Kesalahan
kedua. Mawar bertindak kurang bijak dalam pelimpahan tugas, mungkin karena
merasa tugas A lebih berat, mawar memilih tugas lain yang lebih mudah tanpa
eskalasi ke manajer. Ini bisa dibilang salah. Sebuah tanggung jawab yang besar
harus dengan kewenangan yang besar pula. Setidaknya tugas A harus diserahkan kembali
ke manajer, tidak seenaknya. Dalam kasus gue, pelimpahan tugas A hanya terjadi
employee to employee, tidak melalui pemberitahuan kepada manajer. Ketika Mawar melimpahkan
tugas A ke gue tanpa melalui manajer, gue langsung bertanya dalam hati ‘bagaimana
bisa seorang rekan kerja biasa, bisa melimpahkan tugas pada rekannya yang lain?
Mau belajar nge-bos?’ Karena prinsip gue adalah, gue hanya akan mematuhi printah
manajer dan hanya akan memfollow up perintah dari manajer. Bukan dari seorang
rekan kerja dengan level yang sama. Ini membuat gue gak menganggap tugas A
sepenuhnya masih menjadi tanggung jawab Mawar. Saat itu gue salah karena masih meninggikan
ego, banget.
Dan
kesalahan – kesalahan sepele ini akhirnya sukses menghasilkan sebuah
permasalahan besar.
“Bos, tadi ngerjain tugas A gak?” Gue mendapat
sebuah Chat dari General Manager—atasan tidak langsung dan merupakan atasan
tertinggi gue— tepat ketika gue telah menginjakkan kaki di kontrakan gue
sepulang kerja, setlah waktu eksekusi tugas A sudah lewat.
“Enggak
pak.” Jawab Gue.
“Kenapa
gak dikerjain?”
“Saya
gak dapat info jelasnya pak.” Jawab gue.
“Loh,
tadi katanya kalian switch tugas, gimana sih? Lu tugas A si Mawar tugas B,
bukan apa – apa nih. Masalahnya principle* juga ikut ngomel. Kenapa gak dikerjakan,
itu sudah ditunggu oleh customer.”
“Iya,
tapi saya belum dapat info jelasnya pak. DR tidak menghubungi saya.” Gue memang
tidak memfollow up tugas itu. Lalu, belum sempat gue melanjutkan chat ke GM gue, tiba – tiba manajer langsung gue
langsung menelpon.
“Ki,
bisa bicara sebentar, tadi kamu yang ngerjain tugas A ya?” tanya dia. Kami (gue
dan manajer gue) lalu bercakap panjang, manajer gue berkata bahwa kita semua
harus solid, saling menolong dan jangan saling menjatuhkan. Katnya lagi, Mawar
telah membela diri dan bilang bahwa ini harusnya sudah menjadi tanggung jawab
gue. Dan permasalahan ini telah mencapai level lebih tinggi, tidak bisa
dianggap main – main. Mawar ditekan habis – habisan oleh DR, yang ngotot bahwa
tanggung jawab tetap menjadi milik Mawar karena semua pihak tahunya ya Mawar
yang mengerjakan tugas A. Lalu gue sadar bahwa permaslahan ini mungkin akan
menjadi konflik yang mempengaruhi kinerja jangka panjang. Mengingat hubungan
kerja gue dengan mawar dan manajer gue. Hubungan unit gue dengan pihak DR serta
principle, dan yang terakhir hubungan dengan customer. Begitu banyak pihak
terlibat.
Saat
menyadari itu, seakan – akan pertanyaan “Maukah kamu bertanggung jawab atas
kesalahan orang lain.” kembali ditanyakan pada gue.
Karena
menganggap bahwa gue memiliki andil dalam kejadian ini, gue menjawab, “iya pak,
ini sepenuhnya menjadi salah saya kok. Saya yang bertanggung jawab. Mawar telah
memberitahu saya.”
Mendengar
jawaban gue, Manajer gue lalu berkata “Sebenarnya saya gak mau menyalahkan,
tapi kalian saling mendukung aja lah. Ok”
Di
Akhir pembicaraan dengan Manajer gue, gue menyatakan bahwa ini sepenuhnya menjadi
tanggung jawab gue, mawar gak salah dan gak usah disalahkan, biar gue yang
menyelesaikan ini dengan GM agar mawar tidak perlu ditekan lagi, manajer gue
pun mengamini pernyataan gue. Setelah menyudahi pembicaraan dengan Manajer, gue
lalu membalas chat dari GM, mengaku salah dengan tidak menghubungi DR, tidak
mengkonfirmasi dan tidak mem-follow up tugas A. Gue meminta maaf kepada GM dan
menyatakan lain kali gak akan terulang.
Loh, seharusnya gak seperti itu.
bukan malah bertanggung jawab atas kesalahan orang lain, Harusnya itu, yang
benar dikatakan benar, yang salah ya dikatakan salah.
Enggak
juga, ada kalanya dalam sebuah konflik dan permasalahan, masalah siapa benar
atau salah sudah tidak begitu penting. Yang menjadi penting adalah bagaimana
caranya agar kita bisa menyudahi konflik dan permasalahan itu. Lagipula Mawar
juga gak sepenuhnya salah, ini salah gue juga kok. Mengenai mengakui kesalahan,
itu pilihan dia untuk menyangkal, kalau gue ya memilih utnuk bertanggung jawab.
Tapi emang lu gak takut
dimarahin, atau dihukum, atau apalah gitu?
Jujur,
gue takut, banget. Takut kejadian ini akan mempengaruhi kinerja gue kedepan,
takut penilaian GM akan menjadi jelek terhadap gue. Dan percaya atau enggak,
malam harinya gue terus dihantui rasa takut, bagaimana nanti gue menghadapai
GM? Gue asli takut. Banget. Tapi, dalam hati kecil ini gue malah lebih takut
kalau gue gak berhasil bersikap sebagai orang yang berani bertanggung jawab. Tapi
tetap aja gue takut besoknya, bolos gak ya? bolos aja deh. Haha.
Keesokan
harinya, ketika gue sudah siap dipanggil oleh GM dan siap dimarahi atau
menerima apapun konsekuensinya. Ternyata yang terjadi adalah, GM gak memanggil
gue, samasekali. Ketika kita bertemu, GM bahkan menyapa gue seperti biasa. Entah
dia terlalu sibuk atau memang sudah melupakan permasalah hari kemarin. Well,
gue sekarang menyadari satu hal, kalau ternyata rasa takut itu hanya ilusi,
rasa takut hanya hal - hal yang kita buat – buat di benak kita, padahal dia gak
ada. Jadi gue gak takut bertanggung jawab.
Gak
ada buruknya kok dianggap berbuat salah, semua orang juga pasti berbuat salah.
Sadari bahwa berbuat salah itu biasa, gak ada yang sempurna di dunia ini.
Ngotot menjadi sempurna tanpa kesalahan juga gak etis kok. Buat gue sekarang, yang
paling penting adalah berani bertanggung jawab, baik karena kesalahan kita,
atau kesalahan orang lain—yang kita ikut andil dalam kesalahan tersebut.
Maka,
kalau gue sekarang ditanya: Mau gak kamu bertanggung jawab atas kesalahan orang
lain? Jawaban gue, IYA. Sebagai seorang pemimpin, dan orang yang bertanggung
jawab gue akan jawab iya.
------
Mengenai
mendapat sebuah tanggung jawab besar. Berpikir positif aja lah, tanggung jawab
yang diberikan pada kita jangan dianggap menjadi beban, anggap lah itu sebagai
ujian. Ujian yang kalau kita berhasil melewati ujian tersebut, maka kita berhak
naik LEVEL. Maksudnya Level itu apa? Level
kedewasaan bertanggung jawab. (mungkin) haha.
Eh, Level itu bukannya yang
biasa jadi tempat nongkrong itu ya?
Itu
SEVEL! oke, Lanjut.
Ingat
quotes dari film spiderman versi Tobey Maguire, with great power comes great responsibilty. Jadi, sebenarnya ketika
kita diberi tanggung jawab yang besar, kita telah dipercaya karena memiliki
kekuatan yang besar untuk memangkunya (tanggung jawab). Jadi, positive thinking
aja. Gak ada salahnya kok menerima tanggung jawab yang besar.
Kesimpulan:
Disuruh tanggung jawab? Kenapa enggak. Positive thinking aja lah. :)